3663 km Menuju Bulan

Tary Lestari
Chapter #24

Bab 24

Bab 24

 

Perjalanan backpacking yang terakhir kali kulakukan adalah setahun sebelum Ibu divonis kanker. Aku melakukan perjalanan ke Vietnam kala itu, menjelajah Hanoi, Danang, Hoi An hingga Sapa. Meski tidak sejauh Gara saat melakukan perjalanan, tetapi aku selalu menyempatkan diri mencari waktu untuk backpacking. Itu sudah menjadi bagian dari hidupku yang ingin aku jalani hingga usiaku tua karena perjalanan membuatku semangat.

Gara selalu menawariku ikut perjalanannya, tetapi aku punya tanggungjawab Ibu di rumah. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu dalam waktu yang lama sehingga jika melakukan perjalanan aku hanya membatasinya dalam seminggu saja. Sementara Gara bisa melakukan perjalanan berbulan-bulan naik sepeda sendirian atau menjelajah negara-negara asing tanpa rencana perjalanan. Aku suka melakukan itu, tetapi tidak bisa meninggalkan Ibu demi kesenanganku sendiri.

“Jadi kita berangkat saja?” tanya Gara setelah kami mengumpulkan semua data dari mantan pekerja ilegal di Kamboja dan membuat titik-titik lokasi yang mungkin bisa kami datangi.

Aku mengangguk. “Tidak bisa ditunda lagi.”

Setelah memberitahu pihak kepolisian bahwa kami akan bepergian dan menyerahkan semua urusan si keparat itu kepada polisi dengan semua bukti yang kami punya, maka kami memutuskan berangkat ke Kamboja. Aku juga sudah membuat video terkait kesaksianku menemukan mayat Bulan di rumahnya, sehingga jika dibutuhkan saat persidangan polisi bisa menggunakan itu. Aku sudah mengulang melakukan pengecekan tentang data Angkasa atau teman-temannya, namun kami tidak menemukan apapun selain tulisan di surat Bulan tentang lokasinya di Kamboja.

Begitulah, kami berangkat ke Kamboja.

 

***

 

Pagi baru dimulai ketika pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandar udara internasional Phnom Penh. Setelah menunggu bagasi yang hanya berupa dua ransel besar, aku dan Gara mencari nomor simcard lokal. Seperti perjalanan lain yang kami lakukan dahulu, kami tidak pernah membawa barang banyak. Kami sudah terbiasa backpacker sehingga barang bawaan kami bisa kami perkecil menjadi yang penting-penting saja.

Bandar udara internasional Phnom Penh lumayan nyaman. Ada konter pembelian simcard sebelum pintu keluar. Aku dan Gara menggendong ransel menuju ke sana. Setelah selesai dengan urusan simcard, tuktuk, kendaraan seperti becak motor, yang dipesan Gara lewat seorang temannya sudah menunggu. Gara sudah beberapa kali ke Kamboja sehingga ia memiliki teman-teman baik di sana. Sopir tuktuk paruh baya dan kurus itu ternyata juga teman baiknya. Mereka langsung saling memeluk akrab.

“Aku senang kamu balik ke Kamboja lagi,” kata sopir tuktuk itu dengan bahasa Melayu.

Gara memperkenalkan aku padanya. “Ini sahabatku, Bintang.”

“Oh, Bintang yang dulu kamu ceritakan ya?” sopir itu menyalamiku dengan hangat. “Aku Bisam, sopirnya Gara, asalku Malaysia jadi aku bisa bahasa Melayu. Nama kita sama-sama Bi ‘kan?” lanjutnya tertawa.

“Jangan percaya dia, dia bosku yang nganterin aku kemana-mana. Mana ada sopir?” sahut Gara sambil balas tertawa.

Lihat selengkapnya