3663 km Menuju Bulan

Tary Lestari
Chapter #25

Bab 25

Bab 25

Pagi masih gelap ketika Gara mengetuk pintu kamar hotelku. Aku membuka pintu dengan mata terpejam. Ia menarikku dalam dekapannya sambil membangunkanku. Entah bagimana hubungan kami berubah begitu cepat tanpa aba-aba dan kami berdua saling menerimanya begitu saja. Mungkin karena sudah terlalu lama kami menyimpan perasaan masing-masing dan tidak mengungkapkannya jadi memang tidak butuh lebih banyak drama lagi untuk saling memiliki sekarang.

“Aku masih ngantuk…” kataku manja dan aku mendadak terkejut sendiri dengan ucapanku yang manja itu. Selama hidupku baru kali ini aku begitu memalukan di depan lelaki. Aku tidak pernah meminta tolong, tidak pernah ingin menggoda atau bermanja-manja. Aku bisa menyelesaikan semua masalahku sendiri, jadi merasa tidak perlu memburu perhatian siapapun.

Tetapi Gara tidak menertawakan sikapku yang mendadak manja. Ia justru mendekapku lebih erat.

“Kita harus ke Angkor Watt pagi-pagi…” katanya.

Aku mendorong tubuh Gara menjauh dariku. Gara menarikku dalam pelukannya lagi dan mengecup keningku sebelum keluar kamar. Senyum manisnya mengembang di pintu sebelum ia menghilang. Aku tersenyum dan merasakan perasaanku mekar. Aku memang mencintainya, sejak remaja. Hanya saja, begitu lama aku menyadari bahwa tidak ada orang lain selain dia dalam hidupku.

Bisam menungguku menuruni tangga sambil mengomel. Ia mengatakan bahwa kalau kesiangan tidak akan mendapatkan pesona matahari terbit di Angkor Watt. Meski tujuan kami bukan berwisata, tetapi aku yakin Gara sudah mengatur semuanya. Aku juga sudah menyediakan bahan-bahan dan materi jika menemukan narasumber yang tepat dalam perjalanan ini. Gara meraih tanganku dan menggenggamnya saat menuju tuktuk. Bisam melihat itu dengan pandangan terperangah.

“Jadi dalam semalam kalian sudah jadian?” tanyanya melotot ke arah kami. “Canggih kali kalian ini. Kenapa nggak dari dulu?”

“Udah jangan banyak tanya, sopirin aja tuktuknya yang bener,” jawab Gara santai sambil membimbingku naik ke atas tuktuk.

Sebenarnya aku risih diperlakukan seperti ini oleh Gara, tetapi aku membiarkannya. Terkadang menjadi seorang putri di depan lelaki yang mencintai kita tidak ada salahnya meski penampakanku tetap tomboy.

“Coba dari dulu begitu, kan enak. Masa sampai nunggu berpuluh tahun kemudian, ah, kalian memang senangnya rugiii…” Bisam masih menggoda.

“Jalannn, jangan banyak ngomong,” kata Gara sok kesal.

Bisam tertawa lalu menjalankan tuktuknya menyusuri jalanan di depan hotel. Di luar masih gelap, tetapi jalanan sudah ramai. Banyak tuktuk lewat membawa turis-turis yang ingin mengejar matahari terbit di Angkor Watt. Sebagian orang bule malah naik sepeda atau jalan kaki menuju Angkor Watt. Gara mengambil tanganku dan menciumnya. Bisam melihat itu dan malah pura-pura membelokkan tuk-tuknya ke arah hutan yang ada di sisi kiri kami.

“Heh, Bisam! Hati-hati nyopirnya!” teriak Gara.

Bisam tertawa. “Aku susah fokus kalau nemenin orang pacarana!”

Lihat selengkapnya