Bab 27
Jam 9 malam bus yang kami tumpangi dari Pnomh Penh tiba di kota Poipet. Mundur satu jam dari jadwal yang seharusnya. Aku turun dari bus sambil memanggul ranselku. Gara meminta untuk membawakan ranselku namun aku menolaknya. Sudah cukup dia merepotkan dirinya sendiri untuk mengurusku meskipun aku suka diperlakukan seperti itu dan dia juga senang memperlakukan aku seperti itu. Aku harus kembali normal dengan menjadi diriku sendiri sebelum kami resmi menjadi pasangan.
“Kota ini lebih rapi sekarang,” kata Gara ketika kami menyusuri jalanan menuju hotel. “Dulu jalanannya masih tanah, banyak pengemis dan banyak anak kecil ngelem, “ lanjut Gara.
“Kamu ke sini tahun berapa?” tanyaku.
“Tahun 2017-an sepertinya. Nggak ada hotel bagus dan semuanya kumuh. Tapi, semoga hotel kita kali ini lebih baik.”
“Mereka besok ngajak ketemu jam berapa?” tanyaku.
Gara memeriksa jamnya. “Jam 7 pagi di café ujung jalan.”
“Kafe dekat hotel?”
Gara mengangguk.
Kami terus melanjutkan langkah menyusuri jalanan di pinggir-pinggir pertokoan. Suasana malam lumayan semarak meski menurutku kota ini sedang berusaha hidup kembali setelah kematian panjang. Aku tidak melihat banyak kendaraan selain motor dan tuktuk. Ada banyak orang Indonesia di Kamboja menurut seorang teman. Jumlahnya nyaris tiga ratus ribuan. Populasi orang Indonesia di Poipet juga terus meningkat dari waktu ke waktu.
Hotel yang kami pesan ada di ujung jalan dekat café tempat kami bertemu orang yang diminta Surya untuk membawa Angkasa pada kami. Surya melakukan semuanya tanpa imbalan karena ia sahabatnya Fajar, sungguh semua yang mereka lakukan menyentuh hatiku. Terkadang hidup di negeri orang dengan segala kesulitannya akan membentuk orang menjadi dua hal. Pecundang yang gemar menipu bangsanya sendiri, atau orang yang lebih empati pada bangsanya sendiri. Dan Surya meski memilih menipu untuk orang lain, namun ia menjadi yang kedua.
“Sepertinya ini hotelnya,” kata Gara ketika kami sudah berjalan sekitar 20 menit menyusuri jalan lurus itu.
Tampak sebuah hotel sederhana dengan bangunan sedikit tua. Gara mengeryitkan kening melihat itu karena dari tampilannya sudah jelas bangunan ini tidak sesuai dengan harga yang ia bayarkan. Gara melangkah masuk dan aku mengikutinya.
“Sepertinya bakal zonk lagi nih hotel…” kata Gara tertawa kecil. “Dulu, waktu aku ke sini sama teman jurnalis, aku membeli hotel dengan harga jutaan dan dalemannya begitu aneh. Semoga ini tidak begitu.”
“Aneh nggak apa-apa asal kita tetap sama-sama,” kataku berusaha romantis.
Gara sampai berhenti mendengar kata-kataku dan menatapku dengan tatapan yang mungkin ingin ia sebut romantis namun gagal. Kami tertawa terbahak-bahak.
“Sudahlah, kita nggak cocok dengan adegan-adegan romantis seperti itu,” kataku.
“Benar, kita hanya cocok melakukan perjalanan dan meliput,” jawabnya melangkah masuk ke lobby hotel.
Tiba di lobby hotel sudah tampak bahwa bangunan hotel itu benar-benar menua dengan kursi lobby yang hampir bobrok. Tidak ada resepsionis menunggu di depan sehingga kami harus berteriak-teriak memanggil ke belakang. Seorang lelaki kurus tua keluar dari dalam menghampiri kami menggunakan bahasa Kmer.