“Zefan!” bentak seorang wanita berumur sekitar 40 tahun kepada laki-laki muda yang sedang bersantai di sebuah sofa panjang sembari makan sebuah cemilan dan memegang mikrofon. Di depan mata terlihat kamar yang sangat berantakan, bungkus makanan dan minuman tercecer di mana-mana. Banyak air yang tumpah, kasur yang tak tertata, barang-barang yang terpencar. Hal tersebut tentu membuat wanita tadi kembali marah.
“Ini kenapa kamar kamu berantakan gini sih?” tanya ibunya dengan nada tinggi juga marah.
“Sama kayak pikiranku,” teriak pemuda itu masih bersantai sembari terus menyantap cemilannya.
“KAMU INI! Kalau udah tahu pikiran kamu berantakan itu ditata! Bukannya malah berantakin yang lain, bahkan sampai berantakin hidup kamu sendiri! Masa depan kamu!”
Zefan seketika mematikan musiknya dan meletakkan cemilannya lalu berjalan mendekati mamanya yang berdiri di depan pintu.
“Kenapa ngungkit-ngungkit masa depan sih ma?” tanya Zefan dengan ekspresi sedih.
“Emang begitu kan kenyataannya. Kamu nunda kuliah, apalah itu namanya. Gap year gap year, kamu coba lihat kakak kamu dulu terus anak-anak temen mama. Masih muda udah mikirin masa depannya, kuliah sampai ke luar negeri. Sedangkan kamu tiap hari kerjaannya nyantai. Gak ada niat buat berubah.”
“Kenapa mama selalu memandang sebelah mata soal keputusan aku? Aku itu perlu waktu buat mikir ma.”
“Mau sampai kapan? Sampai kamu nyesel udah buang-buang waktu terus hancurin diri kamu sendiri, masa depan kamu?”
“Kalau ngomongin hancur, kemarin-kemarin aku juga udah hancur ma,” cetus Zefan menatap kecewa pada mamanya, “Mama sama papa yang udah hancurin aku dari dulu,” sambung Zefan masih dengan tatapan kecewa.
“Kenapa jadi bahas soal masa lalu? Kamu harus belajar nerima kenyataan! Belajar ngertiin mama!!”
“Buat apa aku ngertiin mama, kalau mama selama ini gak ngertiin aku?”
“Zefan! Kurang ajar! Kamu tuh harusnya contoh kakak kamu, penurut, pinter, berprestasi, pekerja keras. Jauh lebih baik dari kamu.”
“Manfaat banding-bandingin aku sama kakak kayak gitu tuh apa sih ma? Mau aku berubah niruin kakak?” tanya Zefan dengan tatapan sedih, “Berubah engga, makin hancur iya,” ketus Zefan menumpahkan yang dirasakannya, “Udah ya ma. Mau mandi,” sahut Zefan sembari memegang gagang pintu kamarnya lalu menutupnya.
“Zefan!”
Zefan sudah menutup pintunya, tetapi tujuannya tak di kamar mandi. Ia kembali berjalan ke sofanya, berbaring sebentar sembari menatap langit biru dari jendela kamarnya. Wajahnya musam seperti memikirkan sesuatu. Pikirannya berjalan ke mana-mana, hal-hal buruk yang ia takutkan mengelilingi pikirannya. Suntuk sekali ia rasa, seperti tak ada arah yang jelas untuk melangkah. Jalannya gelap, tak ada penerangan sedikitpun.
Saat dirinya sedang terdiam, tiba-tiba ia terbangun. Lalu segera beranjak untuk mengambil laptopnya. Ia mencari informasi tentang sesuatu yang ada di internet. Senyuman tiba-tiba terlukis di wajahnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari di internet. Zefan mengambil sebuah tas yang lumayan besar. Ia meletakkan banyak bajunya di sana, jaket, kacamata, uang yang ia tabung dalam sebuah celengan berbentuk buku, dan tak lupa ukulele kesayangannya. Selepas mengemas beberapa barang tadi, Zefan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sesudah mandi, ia langsung bersiap mengenakan pakaian. Bukan pakaian keren seperti biasanya yang ia kenakan, tetapi hanya kaos oblong dan celana panjang biasa, yang istimewa hanya ada pada sepatunya. Tak lupa juga ia mengenakan topi. Pakaian yang ia kenakan benar-benar berbeda dari dirinya sehari-hari. Merasa dirinya sudah bersiap pergi, ia langsung ke luar dari kamar. Bukannya lewat pintu utama, tetapi Zefan ke luar lewat jendela kamarnya.
Kamar Zefan berada di lantai dua, mau tidak mau ia harus hati-hati untuk turun. Pertama-tama ia menjatuhkan dulu ranselnya yang lumayan besar itu. Lalu kini saatnya beraksi, seperti layaknya manusia laba-laba yang ada pada film, Zefan turun melalui tiang tembok yang merupakan penyangga. Walaupun Zefan tak pernah melakukan itu, tetapi hobinya menonton film aksi membuatnya berhasil turun dari tiang yang cukup tinggi itu.
“Thanks for being my inspiration James Bond.” ucapnya pada diri sendiri setelah sampai di bawah.
Kini dirinya berhasil kembali menapak tanah, sesekali Zefan menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memantau keadaan. Maklum saja, di rumah sebesar sultan itu, penjagaan sangatlah ketat. Banyak sekali penjaga yang mengawal rumahnya. Apalagi mamanya termasuk orang penting. Jadi, keselamatan jiwanya harus benar-benar dijaga. Zefan mengendap-endap menuju ke halaman luar rumah. Tak lupa ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri, sembari sesekali bersembunyi di antara tiang-tiang penyangga ataupun tembok. Saat ia bersembunyi di tembok lalu ke luar, tiba-tiba,
“Baa!!” ucap seorang penjaga yang memergoki Zefan yang bersembunyi. Zefan menunjukkan ekspresi kagetnya, sembari mengelus dadanya.
“Pak Jono ini bikin kaget saya aja.”
“Hayo Mas Zefan mau pergi ke mana? Ibu bos udah tahu belum? Udah izin belum?”
“Mau ke luar sebentar, jangan bilang-bilang mama ya? Sengaja gak bilang karena mau kasih surprise.”
“Weh emangnya Bu Bos ulang tahun? Bukannya bulan kemarin ya ulang tahunnya?”