39 Kilomature

Adira Putri Aliffa
Chapter #2

Kena Sial

 “Ini gimana ya?” gumam Zefan merasa bingung, “Kayak naik sepeda kali ya, cuma ini pake mesin,” Zefan masih terus meneliti tombol-tombol yang ada di kepala motor itu, “Pertama-tama nyalain ini, sama ngegas dikit terus rem,” gumamnya lagi sembari mencoba menekan tombol, “Nah oke good job Zefan,” ujarnya ketika berhasil menyalakan motor itu, dirinya pun mulai membuat motor itu melaju, “Oke nice,” ungkapnya dengan senyuman, “Tetep tenang, pelan-pelan. Gampang juga naik motor.”

Dengan tancapan gas yang sangat perlahan, motornya melaju seperti sepeda. Bahkan terdapat seseorang yang menaiki sepeda yang lewat melebihi kecepatan motornya. Mata Zefan memandang sekeliling sembari merasakan udara kebebasan karena berhasil ke luar dari tempat yang baginya seperti penjara pikiran dan perasaan. Senyuman terukir di wajahnya. Zefan terus mengendarai sepeda motornya, hingga tak sadar mentari sudah hampir utuh menyembunyikan cahayanya. Teriknya tak lagi menyengat, burung-burung sudah mulai berpulang ke rumah mereka masing-masing.

Lelaki berbadan atletis itu memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah jalan yang sepi dengan pemandangan sawah hijau yang terbentang luas. Saat ia berhenti, baru ia sadari terdapat dua pria dewasa yang berboncengan naik motor juga berhenti. Pengendara itu terus mengikutinya daritadi, awalnya ia kira hanya pengendara jalan biasa dan ia tak begitu menghiraukan, tetapi ini benar-benar tak bisa dibiarkan pengendara itu seperti terus mengintainya. Dirinya dan pengendara itu tak berjarak jauh, hanya sekitar 10 meter saja.

Dengan keberanian diri sekaligus bentuk praktiknya menirukan pemeran film aksi di film kesukaannya. Zefan dengan gagahnya turun dari sepeda motor, ia melepaskan helmnya, dan bodohnya ia meninggalkan kunci motornya menempel. Mungkin karena ia merasa hanya berjarak dekat, lagipula jalan juga sepi, tak ada yang ingin mengambil.

 Jarak Zefan dengan pengendara itu semakin dekat, dengan spontanitasnya Zefan langsung menanyakan alasan mereka mengikutinya. Zefan menghampiri mereka.


“Saya lihat daritadi kalian ngikutin saya ya?” tanya Zefan memastikan sembari berjalan, “Bapak-bapak mau apa?” sambung Zefan yang kini berada tepat di depan motor pengendara yang mengikutinya itu, “Pasti disuruh mama saya kan? Pulang aja deh mending, saya udah gede, udah bisa jaga diri.”


Bukannya menjawab pertanyaan Zefan, seorang pria dewasa yang duduk di bagian belakang malah turun lalu berjalan ke arah belakang Zefan.

 

“Ngapain pak?” tanya Zefan lagi sembari melirik tajam ke pria itu.

 

“Buang air mas. Jangan lihat,” jawab pria dewasa itu dengan cuek sembari terus berjalan membelakangi Zefan.

 

“Pak sebenernya gak boleh tahu buang air di .…” BUG! Belum sempat menyelesaikan perkataannya barusan Zefan tiba-tiba dipukul dari belakang oleh lelaki yang mengaku ingin buang air tadi.

Terdengar suara pukulan yang sangat keras, seketika Zefan tergeletak pingsan. Lelaki tadi memposisikan tubuh Zefan seperti orang yang bersantai dengan menyilakan tangan Zefan di belakang. Hal itu dilakukan agar orang-orang yang lewat mengira Zefan sengaja sedang tidur di pinggir jalan. Setelah itu lelaki bermasker tadi langsung berlari dan menaiki motor Zefan. Ia diikuti oleh temannya, kini mereka langsung mempercepat laju motor masing-masing agar tidak ketahuan oleh orang-orang yang lewat.

Beberapa menit setelah itu, Zefan dibangunkan oleh gerombolan anak kecil yang ingin berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah shalat maghrib. Gerombolan anak kecil tadi berjumlah sekitar enam orang dan semuanya adalah laki-laki.

 

“Mas mas.”

“Mas e mas e.”

 

Sedikit kesal karena Zefan sangat susah dibangunkan, gerombolan anak kecil tadi pun bersama-sama menggoyang-goyangkan tubuh Zefan. Hal tersebut membuat Zefan terbangun dengan kaget. Matanya terbuka perlahan, ia mencoba untuk duduk sembari memegang daerah lehernya karena terasa sangat sakit sekali. Zefan pun heran terdapat banyak anak kecil di sekitarnya.

 

“Mas! Gak baik tidur maghrib-maghrib, di pinggir jalan lagi,” ujar seorang anak kecil mengenakan peci bewarna putih.

 

“Mas e kok kentir ya? turu kok neng pinggir dalan,” (“Masnya kok gila ya? Tidur kok di pinggir jalan raya,”) bisik anak yang mengenakan sarung putih pada teman yang lain.

 

“Rak ndue omah yak e,” (“Kayaknya gak punya rumah dia”) sahut temannya.

 

“Sakke men, tapi mosok pakaian e apik ngono rak ndue omah?” (“Kasian banget, tapi pakaiannya bagus gitu kok gak punya rumah?”)

 

“Paling lali omah neng ndi,” (“Mungkin lupa rumahnya di mana?”) gubris temannya lagi.

 

“Mosok iseh enom ngunu lalian?” (“Masak masih muda kok udah pelupa sih?”)

 

“Iso wae dee ndue penyakit insomnia.” (“Bisa aja dia punya penyakit insomnia.”)

 

“Kok insomnia ki lho? Bukan e tuberculosis yo?” (“Kok insomnia sih? Bukannya Tubercolosis ya?”)

 

Lihat selengkapnya