“Kamu lucu sih, Fan,” ujar Arga.
“Iya, kamu cocok jadi pelawak,” sahut Nindy menanggapi.
“Gak jadi pelawak juga sih, Nin. Humornya gak setinggi itu.”
“Iya sih, terus apa ya?”
“Gak tahu deh.’
Zefan hanya meresponnya dengan melirik satu persatu diantara mereka lalu kembali melanjutkan makannya. Saat ingin menyuapkan nasi ke mulutnya lagi tiba-tiba, “Ah! Kok masih panas sih?’ cetus Zefan dilanjut dengan meletakkan piringnya, “Nasinya nyebelin sumpah! Kita marahan!” sambungnya sembari menunjuk-nunjuk nasi di depannya.
“Gila! Eh Zefan, bukan nasinya yang nyebelin, tapi kamunya yang gak sabaran,” celetuk Nindy menanggapi ucapan Zefan.
“Aku daritadi udah disakitin, terus sabar, terus belajar ngertiin dia, tapi akhirnya dia nyakitin aku lagi. Aku kecewa. Kita udahan aja!” ketus Zefan yang menatap tajam nasi di depannya lalu menunjukkan ekspresi kesalnya.
“Jangan udahan dong, dia masih sayang kamu, kamu juga masih butuh dia kan?” sahut Nindy dengan sangat bijak.
“Tapi dia nyakitin aku terus,” ucap Zefan masih mengelak.
“Kamu harus lebih sabar, sebenernya dia gak niat buat nyakitin kamu kok. Ini cuma soal keadaan aja yang bikin dia kayak gitu. Pelan-pelan semua bakal baik-baik aja, pelan-pelan luka yang dia kasih ke kamu bakal sembuh.”
“Oke fine, aku kasih kesempatan ke kamu satu kali lagi. Kalau sampai kamu ngecewain aku, aku akan cari yang lain.”
“Oke Zefan, aku janji gak bakal nyakitin kamu lagi kok,” jawab Nindy yang memperagakan nasi itu dengan suara lembut. Hal tersebut membuat Zefan menatap Nindy. Hingga mata keduanya saling bertemu dan saling bertatapan lalu mengukir senyum sejenak. Setelah itu, Nindy kembali mengalihkan pandangannya dan kembali menyantap makanannya.
“Drama banget. Hahaha,” celetuk Zefan sembari mengambil piringnya lagi dan mengacak-acak nasinya agar dingin.
“Kamu yang mulai,” sahut Nindy sembari sesekali melirik ke arah Zefan.
“Kamu juga nyambung aja.”
Nindy diam tak menanggapi dan kembali melanjutkan makannya. Arga dan Keisha sama-sama menatap mereka. Suasana hening sejenak setelah itu, hanya terdengar suara sendok yang saling beradu juga desiran ombak yang menyentuh pasir.
“Ngomong-ngomong, ini pantai tu emang masih jarang yang datengin ya, mas?” tanya Zefan kembali memulai obrolan agar tak terasa canggung.
“Gak juga sih, biasanya rame.”
“Beruntung dong kita dateng pas sepi,” ujar Zefan sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Iya beruntung banget. Ini kalau rame tu bisa penuh banget dan pasti gak nyaman karena terlalu riuh,” gubris Arga yang kini kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Bener gini lebih enak, lebih bisa nikmatin alam, lebih tenang,” sahut Zefan.
“Mas Arga terakhir ke sini kapan?” tanya Nindy yang penasaran.
“Lumayan lama sih, kayaknya tiga tahun yang lalu. Waktu sama temen-temen, dan waktu itu kita sama-sama nerima gaji pertama terus mutusin buat kemah di sini.”
“Wahh seru dong.”
“Iya pasti, pergi sama orang-orang yang satu frekuensi itu ada kesenangan tersendiri.”
“Kita satu frekuensi gak nih?” celetuk Zefan.