39 Kilomature

Adira Putri Aliffa
Chapter #17

Truth or Dance

“Belum sih dan gak ada kepikiran buat cari pacar. Maunya langsung cari istri.”

 

“Wah idaman banget. Anak sholeh.”

 

“Gak juga, aku masih banyak kurangnya.”

 

“Tapi lebihnya juga banyak. Mas Arga ganteng, dewasa, perhatian, dan baik pastinya.”

 

“Jadi menurut kamu saya ganteng? Makasih loh udah dipuji.”

 

Keisha tersenyum. Beberapa saat kemudian Zefan menyusul Arga dan Keisha lalu duduk di tengah-tengah mereka.

 

“Hai, lagi pada ngomongin apa?”

 

“Gak ngomongin apa-apa.”

 

“Masa sih? Tadi aku lihat Keisha senyum-senyum gitu.”

 

“Emangnya senyum gak boleh?” sahut Arga pada Zefan.

 

“Ya boleh sih, tapi tadi tuh senyumnya kayak penuh arti yang sulit dipahami gitu.”

 

“Gak ah biasa aja. Kamu aja yang berlebihan, Fan.”

 

“Yaudah deh.”

 

“Nindy mana?” tanya Arga sembari melihat ke kanan dan ke kiri, “Di kamar mandi?” sambungnya memastikan.

 

“Iya mas, panggilan alam.”

 

“Oh ….”

 

“Mas itu bukitnya bisa dinaikin gak sih?” tanya Zefan sembari melihat ke arah bukit di sisi kanan.

 

“Gak tahu ya, kayaknya bisa, tapi aku belum pernah nyoba.”

 

“Yuk coba nanti. Siapa tahu pemandangannya lebih indah dari puncak segoro kemarin.”

 

“Boleh,” jawab Arga.

 

“Nah, mantap. Asik banget nemu temen yang diajak apa aja mau.”

 

“Gak semuanya mau juga sih, Fan. Kalau gak ngrugiin diri kita sih ya ayok-ayok aja.”

 

“Iya maksudnya gitu, mas,” gubris Zefan mengoreksi perkataan sebelumnya, “Aku tu sebenernya suka berpetualang karena sering main game dan nonton film aksi, tapi minat aku itu ketahan karena punya mama yang strict banget.”

 

“Mama kamu gak ngebolehin pergi berpetualang?”

 

“Jangankan pergi berpetualang mas. Pergi ke mall sendiri aja gak boleh, pasti harus ada pengawal. Parah gak sih, padahal aku cowok dan bukan anak kecil lagi.”

 

“Terus kok kamu bisa ke sini? Apa gak dilarang mamamu?”

 

“Emm … kalau sekarang boleh pergi sih karena aku yang maksa banget dan ya mama aku bolehin,” jawab Zefan sembari menunjukkan ekspresi menyembunyikan sesuatu.

 

“Oh gitu,” respon Arga yang terlihat sedikit curiga bahwa Zefan berbohong, tapi ia tak begitu mempedulikannya. Biar nanti Zefan sendiri yang bercerita, ia tak mau ikut campur dengan urusannya. Suasana menjadi hening sejenak. Hingga beberapa saat kemudian Nindy datang menghampiri mereka.

 

“Hai!” sapa Nindy kepada semuanya.

 

“Yuk mas sekarang!” ajak Zefan tiba-tiba pada Arga.

 

“Sekarang?”

 

“Iya.”

 

“Pada mau ke mana? Kok aku dateng, kalian pergi?” tanya Nindy penasaran.

 

“Mau manjat ke bukit itu, ikut gak?” jawab Zefan.

 

“Ih serem tahu, emang boleh ya?”

 

“Boleh asal berani aja,” sahut Arga.

 

“Ikut dong,” sahut Nindy.

 

“Emang berani?”

 

“Berani dong. Emang cowo doang yang berani?”

 

“Yaudah deh iya,” gubris Zefan.

 

“Keisha mau ikut gak? Naik bukit?” tanya Arga dalam bahasa isyarat. Keisha meresponnya dengan anggukan.

 

“Oke kita naik, tapi inget, harus hati-hati ya?” nasihat Arga mengingatkan.

 

“Siap mas,” sahut Zefan, “Eh bentar mau bawa ukulele. Kan seru kalau dimainin di atas,” sambungnya. Zefan pun segera berjalan menuju ke tenda lalu semuanya menunggu Zefan.

 

Setelah itu, mereka berempat berjalan menuju ke sisi belakang bukit lalu perlahan mereka menaikinya. Arga memimpin di depan, lalu Nindy, Keisha, dan yang terakhir Zefan. Dengan melawan rasa takut mereka masing-masing, mereka berjalan dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak bukit itu. Di tengah asik-asiknya mereka memanjat tiba-tiba Nindy sedikit terpeleset, Arga yang kebetulan menghadap ke belakang seketika langsung memegang tangan Nindy untuk mencegahnya jatuh. Saat tangan kanan Arga memegang tangan Nindy, tiba-tiba tercipta ekspresi yang sulit dipahami dari wajah Nindy. Lalu seketika ia mengukir senyum di wajahnya.

 

“Hati-hati, Nin!”

Lihat selengkapnya