“Harus dong,” gubris Nindy.
“Oke, tapi jangan pada kaget?” ujar Zefan kepada mereka semua.
“Iya,” jawab Nindy.
“Iya engga kok, Fan,” sahut Arga juga mendukung Nindy.
“Hal ternakal yang pernah aku lakuin adalah kabur dari rumah.”
“Oh kapan tuh?” tanya Nindy
“Sekarang,” sahut Zefan dengan polosnya.
“Hah? Gila kamu kalau orang tua kamu nyariin gimana? Bisa-bisa dikira kita yang nyulik kamu,” ujar Nindy dengan kaget.
“Dibilangin gak usah kaget.”
“Ya kamu ada-ada aja sih.”
“Habisnya di rumah suntuk, dikekang, semuanya dibatasi. Padahal pikiran kan juga butuh ditenangkan,” ungkap Zefan tentang yang dirasakannya.
“Kamu harus kabarin orang tua kamu dulu sekarang, Fan. Kabarin kalau kamu baik-baik aja, biar mereka gak khawatir,” nasihat Arga pada Zefan.
“Kan gak ada sinyal mas,” sahut Zefan.
“Oh iya.”
“Percuma juga mas ngabarin. Papa mama saya udah punya kehidupan masing-masing.”
“Maksudnya udah punya kehidupan masing-masing apa ya?” tanya Nindy.
“Divorce. Papa sibuk sama keluarga barunya, mama sibuk kerja. Jadi, ya gitu, gak ada yang peduli sama aku.”
“So sorry to hear that, Fan,” ucap Arga.
Nindy yang baru mendengar kenyataan tersebut langsung merasa iba pada Zefan. Dia pun menepuk pundak Zefan untuk menguatkannya. Lalu sesekali Nindy mengelus pundak lelaki yang kerapkali menjahilinya itu.
“It’s okay. Udah biasa kok dihadapkan sama realita yang suka banget bikin kecewa. Jadi gapapa.”
“Kamu punya kakak atau adik gitu gak?” tanya Nindy.