“Karena kamu ngeselin dari awal kita ketemu,” jawab Nindy dengan ketus dan wajah kesal.
“Gara-gara aku gendong dan bawa Keisha?”
“Iya.”
“Kan aku udah kasih klarifikasi kalau niat aku cuma mau nolongin dia.”
“Iya emang.”
“Terus kenapa masih kesel?”
“Alasan kedua yaitu kamu suka ngerjain aku, suka bercanda, gak pernah serius, sering main-main, childish, pecicilan, dan lain-lain.”
“Yaudah kalau gitu aku minta maaf, aku minta maaf kalau udah sering bikin kamu kesel beberapa hari ini, maaf aku sering bercanda, maaf kalau aku gak pernah serius, maaf kalau aku seirng main-main.”
“Ini minta maafnya serius atau bercanda?”
“Serius, masa iya minta maaf bercanda.”
“Oke aku maafin.”
Zefan meresponnya dengan senyuman, “Jadi sekarang kita damai ya?” ujar Zefan sembari menunjukkan jari kelingkingnya.
“Kok pakai kelingking sih? Terlalu biasa, ganti pakai jempol dong,” ujar Nindy sembari menyodorkan ibu jarinya kepada Zefan. Lelaki itu pun menyambut ibu jari Nindy dengan senyuman manis. Keduanya sama-sama mengaitkan ibu jari mereka dan tersenyum manis. Beberapa detik mereka mengaitkan ibu jari sembari bertatapan hingga Nindy menyudahinya pertama kali sebab air yang dimasaknya sudah mendidih.
“Tuh kan kamu, aku sampai gak sadar airnya mendidih.”
“Udah deh, udah malem gak usah nyulut perdebatan lagi. Lagian kamu juga suka kan tatap aku tadi.”
“Sok tahu.”
“Kalau gak suka gak bakal lama.”
“Ya kan gak kamu natap aku terus otomatis aku juga dong.”
“Iya deh iya, ternyata jiwa ngelaknya masih ada. Aku kira udah hilang gara-gara kita udah damai.”
Nindy tak lagi menanggapi ucapan Zefan barusan. Ia memasukkan kantung teh pada masing-masing gelas lalu juga memasukkan gula. Zefan hanya menatap Nindy yang sedang membuat teh lalu sesekali menatap desiran ombak yang menyapu pasir di dekatnya. Perlahan Nindy menuangkan air panas ke dalam gelas dan tanpa sadar ia air itu mengenai tangannya lalu tak sengaja ia menjatuhkan gelas yang digenggamnya.
“Aw!”
“Eh aduh, kok bisa kena tangan sih, Nin? Sini-sini,” ujar Zefan yang langsung beinisiatif mengambil panci dari tangan Nindy.
“Sorry-sorry, udah tehnya yang itu buat kamu aja, Fan. Ini salahku kok, atau bentar ya aku ambilin teh lagi. Semoga aja masih ada,” ujar Nindy yang tiba-tiba langsung berdiri, tapi Zefan mencegahnya dengan memegang tangannya.
“Nin, gak usah, gapapa kok, duduk dulu. Itu tangan kamu gapapa kan?”
“Gapapa, ini cuma merah dikit.”
“Sini coba aku lihat,”
“Gapapa Zefan, gak usah.”
“Sini dulu, aku mau lihat, gak usah ngeyel.”
Mendengar perkataan Zefan barusan, Nindy langsung menurutinya, ia kembali duduk lalu menyerahkan tangannya yang terkena air panas tadi pada Zefan. Lelaki yang berada di sebelahnya itu memegang tangannya perlahan dan melihat lukanya itu lalu meniupnya.
“Ikut aku sini!” ujar Zefan sembari menggandeng tangan Nindy.
“Ke mana?”
“Udah ikut aja gak usah bawel.”
“Oke.”
Zefan menggiring Nindy ke bibir pantai. Kini kaki mereka menyentuh air, Zefan perlahan mengarahkan tangan Nindy yang terkena air panas tadi ke mendekati air. Zefan mengguyur perlahan air laut ke tangan Nindy. Dengan sangat hati-hati ia mengguyurnya agar tidak sampai melukai perempuan di sebelahnya itu. Nindy tersenyum melihat tingkah Zefan yang manis barusan.
“Ternyata cowo yang banyak bercanda kayak kamu bisa sweet juga.”
“Bentar-bentar, sweet? Maksudnya?”
“Emm maksudnya bisa paham gitu loh tentang penanganan pertama kena air panas tuh di kasih air dingin.”
“Ohhh ….”
“Huh ….”
“Kenapa hela napas?”
“Emang kenapa? Gak boleh?”
“Boleh sih, cuma aku curiga aja.”
“Curiga tentang apa?”
“Curiga kalau kamu udah mulai tertarik sama aku.”
“Jangan ngarep, ya kali suka sama orang di waktu yang sebentar. Gak mungkin lah.”
“Kalau kenalnya lebih lama lagi bisa suka gak?”
“Ya bisa.”
“Ohh oke will do.”
“What will you do?”
“Gapapa. Udah deh gak usah kepo,” ucap Zefan sembari menyudahi mengguyur tangan Nindy, “Udah tuh, semoga aja gak kenapa-napa,” sambungnya sembari berjalan perlahan meninggalkan Nindy.
“Eh eh mau ke mana? Kok ninggalin gitu aja sih? Tadi aja tiba-tiba gandeng tanpa ijin.”
“Kenapa? Mau digandeng kaya tadi lagi?”