20 Juni 2014
Reiner berdiri memandang sebuah kain putih yang menutupi tubuh Mary. Tangannya gemetar tidak sanggup membuka kain yang menutupi wajah Mary. Terdengar tangisan kencang dari Shin yang merasa kehilangan Mary. Tangisannya bahkan lebih kencang dari tangisan adik Mary, Ferno. Leo berdiri di samping Shin berusaha menenangkan tangisan Shin. Sedangkan Glen berdiri di samping Reiner beberapa kali menepuk punggung Reiner.
“Kamu tidak ingin membuka dan melihatnya untuk terakhir kalinya, Rei ?”
Glen bertanya untuk ketiga kalinya sebelum mayat Mary di bawa pergi. Tangan Reiner semakin gemetar ketika berusaha untuk membuka kain penutup yang menutupi wajah Mary. Tapi dengan sisa – sisa tenaganya, Reiner berhasil membuka kain penutup itu. Tangisan Shin semakin menjadi melihat Mary tersenyum di dalam kematiannya. Leo yang tadinya berusaha menenangkan Shin kini tak kuat menahan air matanya dan menangis dalam diam. Begitu juga Glen yang melihat wajah Mary yang sangat cantik bahkan dalam kematiannya pun meneteskan air mata. Hanya Reiner yang tidak menangis melihat senyuman Mary.
“Seperti biasa senyumanmu sangat cantik, Mary.”
Reiner membelai kepala Mary kemudian wajahnya ke arah Mary. Lalu Reiner berbisik di dekat telinga Mary dengan lembut.
“Di sini aku akan menunggumu. Menunggu waktu agar bisa bertemu denganmu lagi. Kuharap kamu bisa menungguku. Di sini selagi menunggu waktu bertemu denganmu lagi kami akan selalu mengingat semua tentang dirimu, Mary.”
Reiner mengangkat kepalanya dan menutup kain penutup yang tadinya terbuka. Besok pagi Mary akan dikuburkan di samping rumahnya seperti yang diinginkannya. Setelah operasi panjang pengambilan organ milik Mary yang akan disumbangkan, kini lima pria yakni Reiner, Shin, Glen, Leo dan Ferno melihat wajah Mary terakhir kalinya sebelum besok pagi dikuburkan.
Prosesi pemakaman berlangsung dengan tenang. Shin tidak menangis hebat seperti yang dilakukannya kemarin. Empat sahabat Mary mengantarkan Mary dengan senyuman. Tidak ingin terlihat buruk di hari pemakaman, tidak ingin Mary merasa bahwa kepergiannya menyakiti empat sahabatnya. Ferno pun mengantarkan Mary dengan senyuman.
Proses pemakaman berlangsung selama satu jam. Setelah semua orang yang hadir dalam proses pemakaman pergi, kini empat sahabat Mary berdiri memandang papan nama Mary di atas makam Mary.
“Bisakah kita membuat janji kepada Mary ?”
“Apa yang ingin kamu janjikan pada Mary, Rei ?” Glen terkejut mendengar ucapan Reiner.
“Setelah ini, setiap tahunnya kita akan berkumpul di rumah ini mengenang Mary. Pada hari kematian Mary sekaligus hari ulang tahunnya dan pada hari di mana kita pertama kali bertemu dengan Mary. Apapun yang terjadi kita harus datang kemari dan mengunjungi Mary. Bahkan ketika kita sudah menikah nantinya.”
“Kurasa itu ide yang bagus” jawab Shin.
“Ya. . . dengan begitu kita berempat tidak akan pernah melupakan Mary” jawab Leo.
“Baiklah. . . ayo kita lakukan” jawab Glen.
“Kamu dengar itu Mary. Setiap tanggal 27 Januari dan 20 Juni kami berempat akan datang kemari mengunjungimu. Menghabiskan satu hari itu bersamamu di rumah ini. Setidaknya kamu tidak akan merasa kesepian di rumah ini seorang diri,” Reiner memandang makam Mary dengan tersenyum, “apapun yang terjadi kita berempat pasti akan datang kemari bahkan ketika nantinya kita sudah menikah dan punya anak. Kami akan datang dan menceritakan kehidupan kami padamu.”
Seminggu kemudian. . .
“Reiner. . .”
“Rei. . .”
Glen dan Leo mengetuk beberapa kali pintu rumah Reiner dan berusaha memanggil – manggil nama sahabatnya. Namun beberapa kali ketukan pintu dan panggilan mereka tidak mendapat respon sedikit pun.
“Kamu yakin Rei benar di rumah, Glen ?”