Hari ke 1 – 10
Semua ini salahku. Aku yang bersalah. Aku tidak seharusnya melakukan itu. Siapa sangka kebaikanku dibalas dengan air tuba.
Empat puluh hari tanpa bisa salat. Tidak mampu bertobat. Empat puluh hari hidup dalam ketakutan dan keraguan. Rasanya seperti berjalan perlahan menuju neraka.
Semua berawal dari keinginanku yang sebenarnya sederhana: membuat teman kuliahku yang pemalu mau terbuka soal penyakit yang dideritanya kepada teman-teman sekampus. Maksudku baik. Aku ingin dia tetap optimis, berharap teman-teman kami bisa memberikan dukungan, atau setidaknya doa terbaik mereka. Namanya tak akan kusebutkan, ini soal urusan pribadinya.
Rencanaku adalah membuat taruhan. Jika aku menang, dia harus menceritakan soal penyakitnya kepada yang lain. Namun, jika aku kalah, aku harus menuruti keinginannya—minum khamar.
Dan di situlah, hidupku berubah menjadi neraka selama empat puluh hari.
Aku kalah. Dan aku minum khamar. Kalian mungkin takkan percaya, tapi ini benar-benar kali pertamaku menyentuh minuman haram tersebut.
Aku kalah. Dan aku minum khamar. Kalian mungkin takkan percaya, tapi ini benar-benar kali pertamaku menyentuh minuman haram tersebut.
Tegukan pertama terasa seperti api yang membakar tenggorokanku. Cairan itu panas—bukan hanya dalam suhu, tapi juga dalam rasa. Menyengat, tajam, dan menusuk. Aku mencoba menelan rasa tidak nyaman yang menempel di mulutku, tapi tenggorokanku terasa berat, seperti ditutupi lapisan asap pahit yang menyesakkan.
Tegukan kedua, aku mulai merasa sedikit aneh. Kepalaku berputar ringan, seperti perahu kecil yang terombang-ambing ombak. Aku mencoba tetap tenang, menahan laju darah yang semakin cepat memacu di dalam dadaku, tapi telapak tanganku mulai basah oleh keringat. Rasanya, ini masih bisa kuatasi.