Masa bodoh dengan Tara, sebentar lagi hari ulang tahunku. Aku penasaran akan dapat hadiah apa.
Izinkan aku bercerita sedikit, setiap tahun, dari umurku 5 tahun sampai 16 tahun, satu copy majalah Bobo edisi terbaru tidak pernah absen mengisi kado ulang tahunku.
Aku memang penggemar berat novel, komik, dan majalah Bobo sejak kecil. Selain karena teks di dalamnya sangat berwarna, cocok untuk mata anak-anakku. Informasi yang disajikan juga dekat dengan kehidupan.
Aku masih ingat di salah satu halaman membaca cara melawan kelinci yang benar. Lalu di halaman lain menemukan komik keluarga kelinci. Di halaman lain lagi ada gambar sebuah labirin yang menantang otak anak-anakku. Gambarnya yang begitu rumit membuatku merasa tertantang dan ingin memecahkannya secepat mungkin.
Aku suka berkompetisi tapi tidak dekat dengan siapapun. Aku pendiam sejak kecil. Selama karena bicara itu melelahkan, aku tidak menemukan kesenangan dari membicarakan permainan bola kemarin sore, atau rumor rumah berhantu yang sebenarnya aman sentosa.
“Selamat ulang tahun abang Arya. Semoga dipanjangkan umur dan disehatkan badan, serta dipertemukan dengan pasangan idaman.” Kata ibu dengan antusias.
Aku pun tersenyum menerima hadiah dari mereka. Seperti tahun-tahun sebelumnya, hadiah semua orang dibungkus ke dalam satu kotak besar. Dan seperti yang aku ceritakan sebelumnya, majalah Bobo tidak pernah absen mengisi kotak hadiahku.
Aku mencium tangan mama dan bapak yang bersiap berangkat kerja. Maafkan anakmu ini Ma, Kayun sudah melanggar salah satu perintah mama dan dengan bangga menunjukkan senyum tidak berdosa di hadapan mama.
Aku menangis sepanjang malam. Siang berbahagia, malam berduka. Ingat, salatku belum diterima oleh sang maha kuasa karena belum 40 hari.
“Apa yang harus aku lakukan? Masih lama sekali waktunya ... “
Aku mengedarkan pandangan ke dinding beton bercat biru yang menjaga kerahasiaanku dan kamarku. Pandanganku terfokus pada kaligrafi Allah yang menghiasi dinding kamarku, memberikan kesan tenang sekaligus takut.
Tiba-tiba sebuah ide brilian muncul di kepalaku. Kenapa aku tidak bertanya pada ahlinya saja? Seperti kata pepatah—malu bertanya sesat di jalan. Malu bertanya—stress dan depresi kemudian.
Hatiku kembali dipenuhi harapan. Selama bertahun-tahun aku tidak pernah ketinggalan salat lima waktu. Sekarang juga tidak, bedanya salatku tidak diterima karena aku dalam keadaan sadar dan sukarela menenggak khamar.
“Akan kutulis apa adanya dulu lalu simpan ke draf. Besok baru kirim ke email. Tidak baik menghubungi orang di tengah malam.” Gumamku.