40 hari salatku tak diterima karena khamar

After Future
Chapter #7

Bab 7 - Buah Dari Emosi Negatif

Peduli amat dengan moralitas!

Aku terus-menerus menuliskan komentar paling pedas di setiap postingan Tara. Setiap kali, sengaja kuberi nada provokatif, berharap orang-orang yang sejalan denganku ikut menyerang. Lagipula, siapa suruh dia membuat karya seni musik yang kelam, penuh warna hitam, merah, dan simbol-simbol iblis?

Nadanya yang sumbang lebih mirip jeritan setan ketimbang musik yang membangkitkan semangat. “Gila betul si Tara. Apa sekarang dia banting setir jadi penyanyi rock aliran satanisme?” gumamku sendiri, merasa puas dengan kritik pedasku.

Bulu kuduk ini meremang saat menonton video Tara dengan latar belakang yang aneh, penuh simbol yang membuat otakku langsung berpikir tentang kegelapan.

"Ada apa, Bang? Dari tadi kok ngeliatin layar terus?" Suara adikku yang ceria tiba-tiba memecah fokusku.

Adik kecilku, 8 tahun, enerjik dan selalu penuh rasa ingin tahu—tunggu! Itu tidak penting

"Ini, Dek. Abang lagi liat video kawan. Seram-seram isinya.” Cepat-cepat kuhindarkan layar dari pandangannya. Adikku masih terlalu kecil untuk melihat hal-hal seperti ini.

Dia menatapku serius, seolah memikirkan sesuatu yang lebih besar dari umurnya. “Abang harus hati-hati. Kalau terlalu keras mengkritik, siapa tahu temannya tersinggung dan balas dendam.”


Aku tertawa kecil, "Heh, enggak mungkin. Lagipula, dia sahabatku." kilahku tanpa ragu.


“Status sahabat bukan jaminan dia akan selalu baik. Bisa jadi, apa yang abang pikir sebagai sahabat, malah punya maksud lain. Aku baca di novel, lho,” balasnya dengan wajah yakin.

Oalah, ternyata novel yang jadi rujukannya. Judulnya... 40 Hari Salatku Tidak Diterima karena Khamar, karya Si Pemabuk. Aku membacanya sepanjang hari, penasaran. Isinya lumayan bagus juga, tentang pemuda yang depresi setelah ketahuan minum khamar, dikucilkan di kampungnya yang mayoritas muslim.

Dan tiba-tiba, aku bertanya-tanya. Apa aku juga akan berakhir seperti itu kalau ketahuan? Membaca novel itu membuat hatiku tak tenang.

Hari itu juga, aku mengirim email kepada seorang guru besar, bertanya apakah masih ada jalan untuk bertobat dalam keadaanku. Entah email itu ada di antrean yang ke berapa, aku hanya bisa menunggu jawabannya.

Lihat selengkapnya