40 hari salatku tak diterima karena khamar

After Future
Chapter #8

Bab 8 - Berkelahi Lagi

Sejujurnya, gangguan delusional ini tidak terlalu mengganggu hariku.

Tapi...

Itu akan muncul saat aku melihat sesuatu yang berhubungan dengan Tara dan alkohol.

Dua hal yang sangat memuakkan itu rasanya ingin kubuat menghilang saja dari dunia.

Dipikir-pikir lagi, aku tidak salah kan? Aku menerima taruhan itu agar Tara lebih terbuka soal penyakitnya. Dengan berterus terang, siapa tahu akan ada orang yang mau membantu. Tidak harus dengan uang. Membantu bisa dengan apa saja. Dengan memberi dukungan emosional, menjadi tempat bersandar dikala Tara kesulitan, atau menjadi tempat pulang baginya.

Tapi kebaikan dan kemurahan hatiku dibalas dengan air tinja. Benar-benar si*l. Kalau bukan karena taruhan itu, aku tidak perlu minum alkohol dan membuatku salatku tidak diterima selama 40 hari.

Semuanya akan baik-baik saja.

“Kayum! Udah berapa kali saya bilang.. dengerin materi yang saya sampaikan!”

Daguku membentur pipi ketika tangan ini gagal menahannya.

Buk!

Sontak kudengar cekikikan dari arah belakang. Hak mereka untuk tertawa, aku tidak marah.

Tapi sekarang ... Ibu guru tampaknya sangat murka. Dia ambil tasnya dengan kasar lalu berontak dari kursinya. Melangkah ke luar kelas dengan marah.

“Gimana sih kamu Yum! Kamu kira gampang berbaikan sama guru yang ngambek?”

“Bagaimana pun caranya kamu harus minta maaf ke ibu Nadia!”

Aku menurut saja. Memang akulah yang salah. Tapi guru itu juga terlalu pemarah.

Aku berjalan gontai menuju ruang guru. Apa yang menantiku disana kurang lebih sama seperti yang kalian bayangkan.

Guru yang tadi baper duduk di kursi panjang ruang tamu guru. Selain dia ada bapak kepala sekolah dan guru BK.

Aku tidak tahu masalahnya akan jadi sebesar ini.

“Kayum, duduk.” Perintah guru BK.

Malas banget rasanya. Aku Cuma melamun sebentar lalu berakhir disini. Padahal siswa lain yang lebih nakal saja tidak diperlakukan sekeras ini.

Setelah mendengarkan bacotan tidak penting tentang kedisiplinan dan sikap menghormati guru, aku pun bangkit karena adzan Dzuhur sudah berkumandang.

“Kalau begitu saya balik ke kelas dulu. Maaf udah menyinggung perasaan ibu yang sehalus kain sutra itu Bu Nadia.” Kataku sambil berbalik pergi secepat mungkin.

“Tunggu sebentar Kayum!”

Lihat selengkapnya