Tragedi terong belum selesai. Sebenarnya kejadian yang akan aku ceritakan ini enggak ada sangkut pautnya sama terong. Aku menamainya demikian hanya untuk meluapkan rasa kesalku pada kejadian diserempet truk waktu itu.
Hidungku masih sangat sakit. Lebih buruk lagi, dokter bilang hidungku yang patah ini mungkin akan memiliki bekas. Luka permanen yang menandai wajahku—sebuah pengingat abadi dari momen terkutuk itu. Ketika aku melihat cermin, yang terpantul bukan hanya bentuk hidung yang aneh, tapi juga perasaan marah dan frustrasi yang terus menumpuk di dalam dadaku.
Tapi bukan itu yang ingin aku ceritakan sekarang. Bukan soal rasa sakit fisik yang membekas, melainkan tentang bagaimana kecelakaan itu secara tak langsung membawa seseorang ke hidupku. Seseorang yang, sejujurnya, tidak pernah kuduga akan muncul. Namanya Karbela, pemilik toko kue kecil di ujung jalan, tempat aku biasa mampir setiap sore sepulang sekolah.
Hari itu, setelah pemeriksaan dokter yang membuatku makin stres, aku memutuskan untuk membeli kue di Yellow Cake milik Karbela. Aku butuh pelarian, sesuatu yang manis, meski itu takkan memperbaiki hidungku yang bengkok. Ketika aku tiba, Karbela sedang menyusun kue-kue di etalase dengan teliti. Mengenakan celemek kuning cerah yang menjadi ciri khasnya, dia tersenyum melihatku.
“Ada yang baru hari ini?” tanyaku, mencoba terlihat santai meskipun sebenarnya rasanya ingin menangis.
“Ada, mau coba satu, gratis,” tawarnya ringan, sambil menyodorkan satu potong kue berlapis krim mangga.
Rupanya Karbela ingin aku jadi tester resep barunya. Aku mencoba kue itu, dan seketika rasa manisnya seolah meringankan beban di pikiranku. Namun, yang lebih mengejutkan bukanlah rasa kue, melainkan cara Karbela memandangiku. Ada kehangatan di matanya, seakan dia tahu apa yang aku rasakan tanpa aku harus menjelaskan.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya, dengan nada lembut yang membuat dadaku sedikit menghangat.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, meski jelas terlihat dari ekspresi wajahku kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Hari itu, tanpa aku sadari, hubungan kami mulai terjalin. Sesuatu yang sederhana, dari rasa manis kue hingga percakapan singkat, yang secara perlahan membawa kami ke arah yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya.
Selama ini, aku kira mbak Lotus adalah jodohku. Mungkin bukan. Mungkin Karbela si mbak-mbak toko kue inilah jodohku yang sebenarnya?
Selama 27 hari sudah sejak aku minum khamar, sudah banyak yang aku alami. Tinggal 13 hari dan semua kembali normal. Gangguan delusional ku masih ada. Gejalanya muncul saat aku bertemu Tara atau melihat barang beralkohol.
Sebenarnya keadaan ini sangat merugikan buatku. Setiap seminggu sekali aku harus datang ke rumah sakit untuk terapi penyembuhan, sedangkan keluarga kami tidak ada yang punya BPJS. Otomatis aku harus pakai uang tabunganku untuk biaya rumah sakit.
Kalau kemarin aku bilang ke Raffi kalau uang tabunganku dicopet. Kejadian sebenarnya adalah—uang itu habis untuk biaya pengobatanku.
Lagi-lagi semua ini gara-gara Tara. Atau mungkin gara-gara aku ceroboh? Yang mana pun aku tidak peduli lagi sekarang. Aku hanya berharap cedera di tubuhku segera sembuh.
“Nak, udah bangun kamu?”
“Iya Bu. Ibu bawa apa? Kayanya banyak banget?”
“Kamu mau tahu? Ini ada bubur kacang kesukaan kamu. Kamu kan lagi sakit, sesekali ibu buatin yang sedap-sedap.” Terang ibu, sambil meletakkan piring di meja belajarku.
Hati ini terasa hangat saat ibu memperhatikanku. Aku senang sekali sampai ingin menangis. Saat makan pun beberapa butir air mata sempat jatuh ke tepi piringku. Bubur kacangnya sangat enak. Dari dulu sampai sekarang aku menyukai rasanya. Mencintai setiap sendokan yang masuk ke mulutku.
“Ibu, tambah lagi dong.”
Entah kenapa aku jadi sangat manja hari itu. Kaki ini sukar beranjak dari tempat tidur.
“Silakan,” kata ibu. Aku pun menyantap hidangan itu dengan lahap. Lalu karena aku terus tambah, akhirnya ibu membawa panci bubur ke kamarku dan diletakkan di lantai. Dengan begitu saat aku ingin tambah lagi ibu tidak perlu jauh-jauh mengambil buburnya.