Aku mengayuh sepeda dengan ritme tenang, menikmati pagi yang sejuk dan jalanan yang masih lengang. Langit biru terhampar luas, dan aku merasa hari ini bisa menjadi hari yang baik.
Tapi...saat aku melihat Tara ... Semua keindahan itu sirna. Tara—si pengganggu yang tak pernah puas membuat hidup orang lain sengsara. Aku mencoba mengabaikan mereka dan mempercepat kayuhan sepedaku, berharap bisa melewati mereka tanpa konfrontasi.
Tapi tentu saja, Tara tidak semudah itu menyerah. “Hei, mau ke mana lo?” teriaknya sambil melangkah di depanku, memaksa sepeda berhenti mendadak.
Aku diam, tak mau menanggapi provokasinya. Aku tahu, membalas hanya akan membuat situasi semakin buruk.
Tiba-tiba, Tara mendorongku sampai jatuh dari sepeda. “Gua kira lu hidden MC kayak Raffi. Gua kira lu jago berantem juga, ternyata lu sampah!” ucap Tara sambil tertawa bersama teman-temannya.
Aku tetap tidak menghiraukan, berusaha menahan amarah yang mulai mendidih dalam dada. Tapi Tara tampaknya sudah memutuskan kalau diamku adalah tanda kelemahan. Tiba-tiba, dia mencekik leherku dengan satu tangan dan mendorongku hingga aku terjatuh ke tanah. Dunia berputar, dan sebelum aku sempat berdiri, dia meludah ke arahku. Untung saja aku cukup cepat menghindar sehingga ludahnya tidak mengenai wajahku, meski niatnya jelas untuk menghina.
Rasa sakit dan malu bercampur menjadi satu. Aku menggigit bibir bawahku, menahan diri agar tidak menangis di depan mereka. Kejadian ini menambah dendam yang sudah lama kusimpan pada Tara, tapi aku tahu bahwa hari ini bukan waktu yang tepat untuk membalasnya.
Saat aku masih berusaha bangkit dari tanah, tiba-tiba Raffi muncul entah dari mana. Dia merangkul bahuku dengan santai dan menepuk-nepuk punggungku seolah tidak ada yang terjadi. “Met pagi, bro. Aku lihat apa yang dilakukan Tara tadi. Perlu kubalaskan untukmu?” tanyanya dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
Aku menatap Raffi yang sekarang berdiri di sisiku, rambutnya dipotong baru dengan gaya yang lebih rapi. Harus kuakui, potongan rambut barunya keren. “Rambutmu keren,” aku berkata sambil mengangguk kecil.
“Terima kasih,” jawab Raffi singkat, lalu mengulangi tawarannya. “Jadi, mau nggak aku balas Tara?”
Aku menggeleng pelan. “Nggak usah. Nanti aku dibilang pengecut, Cuma bisa mengandalkan kamu.”
Raffi menyeringai. “Aku takkan balas secara langsung, kok. Aku punya cara lain. Aku akan main cantik dan perlahan-lahan menjatuhkannya dengan merebut keistimewaan dia di tim bela diri kita. Lagipula, ini juga buat Switch-ku yang dirusaknya.”
Mendengar itu, aku mengangguk. “Kalau begitu, aku dukung kamu.”