Ini kejadian yang memalukan kalau diceritakan kepada teman. Tapi disini, aku percaya tidak ada rahasiaku yang akan bocor. Baiklah, langsung saja. Aku tidak bisa menahan diriku. Aku ingin melihat mbak Lotus setiap hari. Melihat senyumnya yang manis tanpa terhalang oleh teralis.
Hari itu adalah saat terakhir aku melihat sebelum cerita ini masuk ke konflik yang lebih besar.
Ibnu menepuk bahuku, memintaku menguatkan diri. Dia hanya pergi sebentar. Katanya menghihurku.
Raffi tidak tinggal diam. Dia menodongkan coklat batangan yang utuh kepadaku. Makanlah, coklat baik untuk meredakan nyeri hati. Ucap Raffi sembarangan. Karena kalau coklat benar-benar bisa meredakan nyeri hati harusnya aku sudah tahu sejak lama kan?
“Aku nggak minat main bola lagi. Kalian bisa main bertiga aja.” Ucapku seakan kehilangan gairah hidup.
Pandanganku masih berkunang-kunang. Sejak pertama kali didiagnosa mengidap gangguan delusional, aku tidak pernah datang ke dokter lagi. Selain karena biayanya mahal, gangguan ini selalu jadi pengingatku pada ke-brengsek-an Tara.
Gara-gara dia aku sering mengeluh sakit kepala, kadang emosi jadi tidak terkendali, dan sering muncul penampakan abstrak di ujung pupil ku.
Tidak hanya itu, gendang telingaku juga menangkap bunyi-bunyi aneh yang tidak nyata. Kebanyakan terdengar seperti tangisan bayi monyet yang diambil dari ibunya. Yang lainnya adalah suara wanita misterius yang memanggil namaku, memintaku untuk melihat ke samping, kadang dia menyuruhku kayang. Aneh sekali kan.
Kabar baiknya semua gangguan itu normal dalam kasus gangguan delusional.
Saat aku kembali ke rumah bersama Raffi dan yang lainnya. Aku atau kami melihat para preman pasar sedang mengetuk pintu rumah mbak Lotus.
“Kalian mencari siapa? Kalau kalian mencari mbak Lotus, dia sudah pergi.” Kataku.
Kedua preman pasar itu saling menatap, raut wajah mereka berubah ke kecewa.
Awalnya aku berencana tidak memperdulikan mereka, namun tiba-tiba mereka berkata begini yang membuatku tidak bisa menahan amarah, “Caper banget. Seakan-akan dia suami Lotus.”
“Rasanya ingin ku tabok saja wajah sok kerennya itu.”
Fahmi sudah memperingatkan ku agar tidak gegabah, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku menantang preman pasar itu bertanding dengan adil di atas arena.
Tidak terima dengan ejekan mereka, langsung saja ku ajak mereka bertarung secara pria. Akan tetapi, untuk menghindari permusuhan setelahnya, aku putuskan mengajak mereka bertengkar di ring dan mereka setuju.
Arena yang ku maksud adalah lapangan bola tidak terpakai di dalam hutan. Karena tempatnya lumayan jauh dari permukiman, tempat ini sering digunakan untuk ritual adat maupun ritual laki-laki seperti kami.