Raffi, anak ini memang tidak pernah tahu kapan harus berhenti. Walaupun jumlah musuh bertambah menjadi empat orang, dia masih berkeras ingin menghadapi mereka sendirian. Aku benar-benar tidak bisa memahami jalan pikirannya—sangat keras kepala dan tak kenal takut, atau mungkin hanya nekat tanpa batas.
"Fi, lebih baik kita kabur aja!" bisikku, mencoba membujuknya agar sadar akan situasi. Empat lawan satu, dan mereka jelas bukan orang biasa.
Namun, Raffi menggeleng, matanya menatap tajam ke arahku. "Enggak. Kalau kita kabur sekarang, mereka pasti akan mengejar terus. Hidup kita enggak akan pernah tenang."
Aku tahu ada benarnya yang dia katakan. Tapi, melawan empat preman pasar yang sudah terbiasa dengan baku hantam? Rasanya seperti bunuh diri. Bahkan jika teman-temanku ikut bergabung, empat lawan empat sekalipun, kami bukan tandingan mereka.
Maulana, teman kami yang terkenal karena keanehannya, malah menyambut tantangan Raffi dengan antusias. "Ya sudah, aku akan membantumu, Fi. Dengan 'nakama power', kita pasti bisa menang!" katanya, seakan-akan sedang hidup dalam cerita manga.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kondisi kami sudah buruk—melawan empat orang dengan senjata saja sudah cukup mengkhawatirkan, ditambah lagi Maulana yang terjebak dalam khayalannya sendiri. Namun, Raffi tampaknya punya rencana lain.
"Kalian enggak perlu ikut campur," katanya sambil menahan senyum tipis. "Aku sudah memanggil bala bantuan. Dan sebenarnya, mereka sudah tiba lebih dulu daripada kita."
Kata-katanya membuatku tertegun. Sesaat aku mencoba menebak siapa yang dia maksud, tapi harapanku bercampur dengan rasa ragu yang aneh. Dan benar saja, tak lama kemudian sosok yang kami tunggu-tunggu muncul. Bala bantuan Raffi bukan sembarang orang—mereka adalah Tika, gadis cantik yang sudah lama dekat dengan Raffi, dan abangnya, Mas Ogi, seorang praktisi bela diri yang terkenal di kampung kami.
Tika langsung berjalan cepat mendekati Raffi, lalu merangkul lengannya dengan hangat. Dengan wajah penuh senyum manis, dia menempelkan pipinya ke pipi kanan dan kiri Raffi, seperti pasangan yang tak malu menunjukkan perasaan mereka di depan umum. Mas Ogi hanya melirik sekilas ke arah adiknya, karena tahu tak ada yang bisa dia larang jika Tika sudah bertindak seperti itu. Lagipula, mereka memang saling menyayangi, dan dia tidak melihat ada yang salah dari sedikit keintiman itu.