Billy si preman pasar dan ketiga temannya mendapat beberapa pukulan di perut. Raffi terluka di lengan dan dadanya, untung saja tebasan pisaunya tidak dalam.
Tahu apa yang terjadi setelah itu? Kalian pasti tidak akan menduganya. Aku juga tidak sebenarnya. Aju tidak pernah menduga Fahmi dan Maulana akan memaksaku meminta maaf.
"Iya iya, aku akan melakukannya. Kenapa kalian cerewet sekali hari ini?" Gumamku dengan kesal.
"Itu karena kau belakangan ini sering bertingkah aneh Yum. Abangku seorang dokter. Kata abangku gangguan delusional ringan seharusnya tidak menyebabkan kepribadian seseorang berubah." Kata Fahmi. Dia tidak sanggup lagi membendung rasa penasaran yang membludak.
Aku hanya diam. Aku benar-benar sudah gila kalau mengatakannya disini.
Melihat sikapku yang selaly bungkam, Fahmi pun menyerah. Helaan nafas panjangnya adalah tanda bahwa dia sudah tidak tertarik. Anak ini mudah tertarik dan bosan. "Kalau kau tidak mau mengatakannya tidak apa-apa. Kau akan terlibat dalam masalah karena tindakan impulsifmu yang sulit dibaca itu, Kayum." Ucap Fahmi sambil menoleh ke arah Raffi yang terluka dan sedang dutenangkan oleh Tika.
"Aku tahu itu." Jawabku lirih, sambil terus melirik luka sobek di lengan Raffi.
Karena Raffi terluka, semua orang jadi menyalahkanku, kecuali Raffi. Menurut Tika, aku bersalah karena tidak tahu batas kemampuan diri. Pendapat abang Ogi pun tidak jauh beda. Kalau bukan karena Raffi, nyawaku mungkin sudah terenggut dari tadi dan itu adalah konsekuensi karena sok jagoan.
Malam tiba. Kami pulang ke rumah kami masing-masing. Maulana dan Raffi bonceng berdua, luka Raffi tampak semakin memburuk dari waktu ke waktu sehingga memerlukan pertolongan medis segera.
Beberapa hari berlalu, tidak terasa 40 hari sudah berlalu. Satu bulan 10 hari yang mencekam di pertengahan tahun ini akhirnya berhasil kulewati.
Jangan tanya sebahagia apa diriku. Tapi sekarang masalah yang baru, muncul. Gangguan delusional ku masih ada walaupun hati dan pikiran sudah jernih.
Aku menemui dokter ahli kejiwaan itu lagi. Kekecewaan tampak jelas di wajahnya saat tahu aku tidak minum obat sesuai anjuran. Jangankan minum, menyentuh obat itu saja tidak pernah. Selain karena aku ingin irit sebab obat itu sangat mahal, terlalu banyak mengkonsumsi obat semacam itu juga akan mempengaruhi tubuhmu. Kau akan cepat lelah dan berakhir di tempat tidur seharian jika terus minum itu.
Apa lagi ya... Aku juga tidak suka membuang uangku untuk berobat, tapi aku harus melakukannya karena ini demi kesembuhan.
Dokter yang kecewa itu pun memperingatkanku dengan lebih keras kali ini dengan memintaku meminum obatnya apapun yang terjadi atau keadaan akan bertambah parah.
Karena sifatnya yang terlalu emosional itu aku jadi meragukan keaslian ijazahnya. Bukankah tenaga harus bersumpah taat pada peraturan kesopanan? Pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku sampai aku lelah memikirkannya. "Bodo amatlah. Mending tidur." Gumamku bercampur marah saat itu.