Aku tidak bisa memberitahu mereka alasan sebenarnya aku ingin menjadi dokter syaraf.
Sebenarnya Tara mengidap Trombosis sepanjang 2 sentimeter. Dulu saat kami masih bersahabat, aku berjanji akan mengobati penyakitnya sebab Tara tidak mau diajak ke dokter.
Bayangkan, aku dulu sampai rela masuk jurusan kedokteran demi kesembuhannya, sebesar itulah rasa sayangku padanya dahulu. Namun semuanya telah hancur sekarang. Dan impian itu—masih tersisa.
"Bagiku dokter syaraf itu keren." Jawabku sambil tersenyum tipis.
Begitulah kami menghabiskan akhir pekan, namun, seperti kata pepatah, RODA KEHIDUPAN AKAN TERUS BERPUTAR. Hari yang menyenangkan itu telah berakhir, berganti ke hari menyebalkan lainnya.
Tara, si keponakan pemilik gedung sekolah ini tingkahnya semakin menjadi-jadi. Aku heran. Apa pamannya yang kaya itu tidak malu memiliki keponakan sepertinya, hah?
Saking kesalnya aku pada Tara hari ini, sampai aku sebut almarhum ibunya dengan sebutan yang tidak pantas. Harap maklum gaes, penulis juga manusia yang bisa membuat kesalahan seperti tadi.
Jadi seperti ini kejadiannya. Aku dan Tara disuruh diminta membantu pak tukang mengambilkan cat. Sejauh ini tidak ada yang terjadi. Namun ketika kami sampai di gudang, Tara tiba-tiba menyenggolku. Akibatnya flashdisk ku yang berisi tugas video kelompokku jatuh ke kaleng cat.
"Ada apa denganmu? Kenapa suka sekali memulai pertengkaran?"