Pengumuman yang tiba-tiba itu mengubah suasana pesta Barbeque yang semula penuh suka cita menjadi penuh kemurungan. Puncaknya Julia yang sedang berbincang dengan Fahmi tiba-tiba meninggalkan pacarnya itu dan pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Aku berusaha membuat Fahmi mengatakan alasan sebenarnya dari keberangkatannya yang sangat tiba-tiba ini. Namun Fahmi terus mengulang jawaban yang sama kalau dia sedang menjadi anak yang penurut pada orang tuanya.
“Tidak peduli sebesar apapun cintaku kepada Julia, dia tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang yang telah melahirkan dan merawatku hingga sebesar ini.” Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Fahmi padaku tadi malam.
Besoknya, Fahmi pun mulai mempersiapkan kepindahannya. Dia meminta ditemani menemui Rektor. “Aku sendiri yang akan bicara dengan Rektor. Tidak apa-apa, aku bisa bicara sendiri, lagipula kami sudah ada janji sebelumnya.”
“Baiklah. Kami akan menunggumu di luar sini.”
.....
Kurang lebih satu jam kami menunggu. Kami rela melewatkan satu jam pelajaran untuk menunggu Fahmi. Inilah saat-saat terakhir kami dengannya. Kalau kami tidak bisa menjaga amanah yang dia berikan, mana pasti kami disebut teman. Aku yakin Raffi dan Maulana merasakan hal yang sama. Terbukti mereka tidak menyinggung soal jam pelajaran keempat yang sudah dimulai.
Saat Fahmi keluar, kami langsung mengelilinginya. Aku jadi yang paling pertama bertanya, menyusul Raffi dan Maulana. Urutannya pas sekali dengan hierarki popularitas dalam novel ini :>. Oke, lanjut.
“Apa kata rektor? Diizinkan tidak?”
“Iya. Rektor mengizinkanku pindah kuliah.”
Kami pun bersorak. Hah? Kalian bertanya apa kami tidak sedih? Hahaha, untuk apa sedih saat teman kami akan pergi ke Singapura untuk melanjutkan pendidikan? Kami sangat mendukung keputusan Fahmi, tidak lain alasannya adalah agar dia tidak terlalu bersedih atas keputusan orang tuanya.
“Sudah terlambat untuk masuk kelas. Kita ke warung depan saja bagaimana?” ajakku. Bisa dibilang aku sudah jadi pemimpin dari kelompok kecil ini sejak pertemuan pertama kami.
“Sudah lama aku tidak ikut campur urusan grup. Bagaimana kabar grup PP, Raffi?”
Raffi berhenti menyeruput mienya. Mie yang panjang tergantung di mulutnya, menunggu untuk diisap kembali. Matanya tajam menatap ke arahku. “Buruk sekali. Lebih tepatnya memburuk setelah aku ditegur Wakil Kepala 1. Dia bilang grup kita tidak memiliki visi yang mendidik dan menjadi lahan berbagi dosa pada penyebar link b***P, ju** ****, transaksi narkoba****, dan banyak lagi..”
Aku terkejut—TIDAK tapi TERNGANGA.
“Wakil Kepala 1 lagi halu berat atau gimana? Bisa-bisanya dia menuduh grup kita melakukan hal-hal seperti itu! Jangankan mengedarkan barang haram. Fyp saja harus melalui pemeriksaan ketat untuk bisa muncul di grup kita.”
“Sudah jelas pelakunya adalah si Firman pengkhianat itu.”
Deg! Firman lagi, Firman lagi. Aku benar-benar menyesal sudah mengajaknya masuk grup. “Apa ada yang bisa aku lakukan. Untuk membantu?”
“Entahlah. Tujuanku membentuk grup itu tidak lain untuk mengobati mental para mahasiswa yang mengalami ketidakadilan. Semua jenis mahasiswa termasuk ketua BEM yang dikeluarkan secara tidak hormat yang mengalami tekanan juga ada di grup itu. Eksistensi mereka yang membuatku tidak bisa membubarkan grup itu sembarangan.”