40 hari salatku tak diterima karena khamar

After Future
Chapter #41

Bab 40 - Curi-curi Kesempatan di Kala Hujan

Hujan deras mengguyur bumi, menyapu debu dan polusi yang selama ini melapisi jalanan kota. Suara katak bersahutan di sudut-sudut genangan, menyanyikan irama alam yang menenangkan. Di kejauhan, anak-anak berlarian, melompat-lompat di atas genangan air. Tawa mereka memenuhi udara, menciptakan momen langka di mana layar-layar smartphone mereka dibiarkan mati, tergantikan oleh keseruan bermain di luar rumah.

Bagaimana denganku? Aku tetap terjebak dalam rutinitas yang sama, meski sedikit berbeda dari mereka. Di bawah langit yang menumpahkan hujan, aku sibuk mengasah kemampuan menggiring bola basket. Bukan sekadar menggiring, melainkan menguasai seni membawa bola melewati barisan lawan yang siap merampas kapan saja. Kau tahu, dalam olahraga basket, yang paling sulit bukanlah menembak bola ke dalam ring atau melindunginya dari pemain lain. Bagian paling rumit adalah menggiring bola dengan presisi, kecepatan, dan ketenangan, sampai ke keranjang lawan. Itu adalah ujian mental dan fisik, di mana satu kesalahan kecil saja bisa membuat segalanya berantakan.

Lumpur licin melekat di sepatu, baju berat kuyup air, dan petir yang menyambar membuat nyaliku ciut. Namun, pelatih Raffi, si tiran tanpa belas kasih, tidak mengizinkanku berteduh hanya karena aku belum pernah sakit akibat hujan.

“Time out! Aku mau ke toilet!” seruku akhirnya, tak tahan lagi.

“Baiklah, kita sudahi saja latihan hari ini,” jawab Raffi santai.

Aku melongo. Tadi dia sendiri yang bersikeras latihan akan terus berjalan sampai hujan reda? Dasar pelatih plin-plan.

Hujan pun reda. Kakiku kram. Raffi meneriakiku tapi aku mengabaikannya. “Aku mau istirahat. Kalau dipaksa latihan lagi, kakiku bisa keseleo. Kita lanjutkan besok, maaf.” Kataku yang tidak lagi bisa berbicara dengan benar.

Di rumah, aku mendapat perawatan bak seorang raja. Segelas teh hangat tersaji di meja, selimut tebal melilit tubuhku, dan ibuku bolak-balik memastikan aku nyaman. Bahkan suara televisi dikecilkan, seolah seluruh rumah sepakat menjadikanku pusat perhatian. Namun, di balik semua itu, terselip tatapan tajam ayahku yang seakan berkata, “lain kali jangan main hujan seperti orang bodoh.”

Bahkan Mbak Lotus, tetangga sekaligus... yah, biar kuakui saja, pacar rahasiaku, datang membawakan semangkuk bubur manis hangat ke kamar. Wajahnya terlihat serius, tapi matanya menyimpan sesuatu yang hanya aku yang bisa membacanya—kekhawatiran yang tulus.

“Mas Kayum, makan dulu, biar cepat sembuh,” katanya sambil meletakkan mangkuk di meja. Aroma rempahnya menyeruak, menggoda perutku yang tiba-tiba lapar.

Aku tersenyum kecil, mencoba menggodanya meski badan masih lemas. “Masih sempat beli ini buat aku? Jangan-jangan ini cara biar bisa sering ke rumahku.”

Dia memutar matanya, tapi rona merah di pipinya tak bisa disembunyikan. “Makan saja, nanti malah makin sakit.” Suaranya tegas, tapi aku tahu dia hanya berusaha menyembunyikan rasa malunya.

Aku mengambil sendok pertama, menikmati setiap suapan, dan berusaha tidak tertawa melihat dia berdiri kikuk di sudut kamar, seolah takut orang lain tahu kami sebenarnya lebih dari sekadar tetangga.

Lotus masih berdiri di sudut kamar, memainkan ujung kerudungnya dengan gugup. Aku terus menyantap sup dalam diam, tetapi sesekali mencuri pandang ke arahnya.

Lihat selengkapnya