40 hari salatku tak diterima karena khamar

After Future
Chapter #42

Bab 41 - Untuk Teman Yang Akan Pergi

Aku terbaring di atas tikar anyaman, aroma minyak gosok memenuhi udara. Tukang urut itu menekan otot betisku dengan tenaga yang membuatku meringis, tapi aku tahu ini perlu. Di sela rasa nyeri yang datang dan pergi, suara gemericik air hujan di luar sana masih terdengar samar, melengkapi suasana yang nyaris membuatku tertidur

Namun, ketenangan itu dirusak oleh getar ponselku di atas meja kecil di dekatku. Layar menyala, memperlihatkan nama Raffi. Aku mendesah, terlalu malas untuk mengangkatnya. Tapi Raffi tidak pernah menelepon tanpa alasan penting. Dengan enggan, aku menjulurkan tangan untuk meraih ponsel itu.

“Ya, ada apa, Rif?” tanyaku, suaraku serak karena lelah.

Belum sempat dia menjawab, suara kaca pecah terdengar dari seberang telepon, keras dan memekakkan. Suaranya begitu nyata hingga aku refleks menegakkan tubuh, membuat tukang urut itu mengomel.

“Raffi? Apa itu tadi?!” tanyaku, tiba-tiba cemas. Tapi hanya ada keheningan yang membalas.

Tangan kiriku mencengkeram ponsel erat, sementara tangan kananku menahan napas agar bisa mendengar lebih jelas. Detak jantungku mulai berlomba dengan waktu, menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

“Cuma kaca yang pecah kena bola,” suara Raffi terdengar datar, nyaris tanpa rasa bersalah.

Aku menghela napas lega, tapi tetap tidak percaya. “Kau yang memukul bola itu?” tanyaku, mencoba memastikan.

“Iya, makanya aku diam sebentar tadi,” jawabnya dengan nada santai, seolah-olah memecahkan kaca adalah bagian dari rutinitas sehari-harinya.

“Oh... Kau sedang latihan tenis?” tebakku, berusaha mencari penjelasan logis untuk suara kaca pecah tadi.

“Yup.” Sahutannya pendek, tanpa penjelasan lebih lanjut.

Aku terdiam sejenak, membayangkan Raffi memukul bola tenis dengan terlalu semangat sampai menyebabkan kerusakan. “Kau tidak apa-apa, kan? Atau ada yang terluka?”

“Tenang saja, semuanya aman. Hanya kaca yang malang,” katanya santai.

Aku menarik napas, mencoba mengabaikan rasa cemas yang tidak perlu. “Oke. Jadi, ada apa kau meneleponku?” tanyaku, kembali ke topik.

Raffi tak langsung menjawab. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya dia berkata, “Aku lihat kau mengabaikan jadwal latihan hari ini?”

Aku mengerutkan kening, merasa sedikit bersalah. Tapi aku tak punya pilihan lain. Dengan cepat, aku memotret plafon rumah bibi tukang urut dan mengarahkan kamera pada bibi yang sedang serius memijat kakiku. Beberapa detik kemudian, fotonya kukirim bersama pesan singkat:

“Maaf. Aku sakit. Kita lanjutkan lusa saja.”

Hening di seberang sana. Raffi membaca pesanku, mungkin sedang mencerna alasan itu. Akhirnya, dia hanya bergumam pendek, “Oke. Tapi jangan lupa latihan sendiri kalau sudah enakan.”

Aku menghela napas lega, menutup telepon. Sesaat kemudian, bibi tukang urut menatapku dengan alis terangkat. “Pacarmu, ya?” tanya Bibi sambil terkekeh.

Lihat selengkapnya