40 hari salatku tak diterima karena khamar

After Future
Chapter #44

Bab 43 - Kekhawatiran Sebelum Bertanding

Langit sore di atas lapangan SMK tempat aku dulu menghabiskan masa sekolah terlihat tenang. Angin berembus pelan, membawa aroma khas rumput basah bercampur debu yang seolah menjadi bagian dari kenangan masa lalu. Di ujung lapangan, beberapa siswa tampak sibuk menyiapkan perlengkapan untuk pertandingan sepak bola yang akan digelar pekan depan. Bola-bola bergulir di atas tanah, sementara beberapa siswa lainnya mendirikan tiang gawang yang sudah berkarat.

Aku bertanya-tanya, "Mereka bekerja sedemikian keras.. Digaji tidak ya?"

Aku hanya berjalan santai di pinggir lapangan, menikmati pemandangan yang membangkitkan nostalgia. Lapangan ini dulu sering menjadi tempat kami beradu ketangkasan menggiring bola. Namun, kali ini rasanya berbeda. Ada semacam hawa yang sulit dijelaskan—seperti sesuatu yang mengintai dari balik bayangan.

Rumor yang kudengar tentang SMK ini memang tidak main-main. Padahal dulu saat aku masih sekolah disini, rasanya nyaman saja. 

Banyak yang bilang kalau sekolah ini kini dikuasai oleh geng-geng kakak kelas barbar, yang beroperasi dari balik layar. Geng-geng itu tidak pernah muncul terang-terangan, tapi pengaruh mereka terasa. Siswa-siswa junior hidup dalam ketakutan, dan bahkan guru-guru pun tampaknya enggan membahas topik itu secara terbuka.

Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Mungkin aku hanya terlalu banyak mendengar cerita dari orang-orang. Tapi langkahku terhenti saat tanpa sengaja aku mendengar suara lirih dari balik dinding toilet sekolah. Dua siswa kelas tiga sedang berbicara, dan nada suara mereka jelas bukan obrolan biasa.

“Gigi gerahamku benar-benar patah, bro... aku tidak tahu harus bilang apa ke orang tua,” keluh salah satu dari mereka, suaranya gemetar.

“Ya ampun, jangan membuat aku makin parno. Kau tahu tidak? Mereka itu seperti hantu. Kita tidak tahu kapan mereka akan muncul dan menyerang kita. Mata-mata kakak kakak kelas itu ada dimana-mana, jadi hati-hati dengan congormu,” balas yang satunya, suaranya penuh frustasi.

Aku mendekat perlahan, berusaha tetap senyap. Toilet itu tampak sepi dari luar, tapi percakapan di dalamnya penuh ketegangan.

“Kenapa mereka cuma mengincar kita? Apa salah kita, sih?”

Lihat selengkapnya