Raffi sudah menyetujui usulan ini, dan para petinggi grup tidak ada yang mengajukan keberatan. Dengan demikian, aku langsung bergerak menuju sasaran: dua anak yang sebelumnya mengeluhkan nasib malang mereka di toilet sekolah.
Menemukan mereka tidak sulit. Aku sudah memotret wajah mereka diam-diam sebelumnya dan mencari tahu asal kelas mereka. Ketika bel pulang berbunyi, aku langsung menuju kelas mereka dan menemui mereka secara langsung.
Aku mengajak mereka berbincang di warung kecil di belakang sekolah. Tempat itu cukup nyaman, jauh dari suasana formal dan lebih santai untuk berbicara. Untuk mencairkan suasana, aku menawarkan mereka bakso. Kalian mungkin akan mengira aku bercanda jika kuceritakan apa yang terjadi. Saat aku mulai bertanya, perut salah satu dari mereka tiba-tiba berbunyi keras—seperti suara kentut yang tak disengaja.
Adegan itu mengingatkanku pada komedi klasik yang biasa kutonton waktu kecil. Namun, yang terjadi di hadapanku adalah kenyataan. Sambil menahan tawa, aku memanfaatkan situasi itu. “Kelaparan, ya? Sudah, santai saja. Aku traktir,” kataku.
Mereka akhirnya setuju, dan aku memesan semangkuk bakso serta segelas es teh untuk masing-masing dari mereka. Warung ini adalah tempat legendaris, berdiri sejak zaman guru-guru kami masih mengisap jempol, katanya. Saat makanan tiba, mereka melahapnya dengan cepat, seolah sudah menahan lapar sejak pagi.
“Jadi kalian tidak sempat makan siang karena uang kalian dirampas oleh adik kelas? Serius?” tanyaku, menatap mereka dengan sedikit rasa kasihan.
Salah satu dari mereka, yang tampaknya lebih berani, menjawab. “Iya, Kak. Kami tidak berani melawan. Soalnya dia anak anggota DPR. Kalau kami macam-macam, kami bisa habis.”
Anak itu menatapku serius, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam, seolah-olah ia hendak memberi pelajaran hidup. “Kakak pasti tahu, kan? Di zaman sekarang, keadilan itu hanya milik mereka yang punya uang.”
Aku hanya tersenyum tipis, bukan karena setuju, tetapi lebih karena kejujuran polos mereka yang mengena. Di balik kepolosan itu, aku bisa merasakan frustrasi mendalam. Dunia memang keras, tapi aku di sini untuk mencoba membuatnya sedikit lebih baik, setidaknya untuk mereka.
“Pernyataanmu tidak salah. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas sudah bukan rahasia lagi. Seandainya besok para perundung itu kembali mencuri uang kalian, apa kalian akan diam saja?” tanyaku memulai pendekatan perlahan-lahan.
“Saya akan menyembunyikan uang saya di bawah karpet ruang BK.” Jawab siswa bertopi pramuka.
“Saya ... Saya sudah pernah menyembunyikan uang saya sekali tapi selalu ditemukan oleh mereka. Tanpa paksaan sedikitpun, mereka berhasil menemukan uang yang saya sembunyikan. Belakangan saya tahu kalau mereka punya mata-mata di setiap sudut.”
Aku mendengarkan dengan khidmat dan sesekali menggosok tangan. Siswa yang bernama Rizal itu kembali bercerita, “Setelah mengambil uang dari saya mereka mengancam akan menyita Smartphone kalau saya ketahuan menyembunyikan uang saku lagi. Saya bingung. Tidak tahu harus minta tolong kemana. Tidak ada yang mau membantu saya. Keluarga saya pun hanya peduli pada adik saya yang lebih bisa diandalkan karena seorang Social Butterfly.”