Bola memantul ringan di atas aspal yang kasar. Suaranya bergema ritmis, berpadu dengan desahan napas Maulana yang mengalir berat. Dari kejauhan, aku melihatnya sendirian, fokus pada latihan. Gerakannya sederhana—menahan bola dengan telapak kaki, melemparkannya ke udara, dan menyundulnya kembali ke tanah.
Aku mendekat, sengaja menginjakkan kaki lebih keras agar ia tahu aku datang. Maulana menoleh dan tersenyum tipis, namun tak menghentikan latihannya.
“Kegigihanmu patut diacungi jempol, Lan,” kataku, mencoba mencairkan suasana.
Maulana hanya mengangkat bahu, matanya tetap terpaku pada bola yang terus memantul. “Aku mewanti-wanti tim ini agar berlatih lebih keras dari tim musuh. Aku memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perintah itu juga.”
Aku duduk di tepi jalanan kecil itu, menatapnya tanpa berkata-kata. Dalam diam, aku merasa kagum sekaligus iri. Maulana selalu tahu apa yang harus dilakukan, selalu punya arah yang jelas. “Kita akan menang,” katanya tiba-tiba, dengan nada penuh keyakinan. Ia menghentikan bola di bawah telapak kakinya dan menatapku tajam. “Kalau kalah, itu bakal jadi tamparan keras buat harga diriku.”
Meskipun tidak mengerti maksudnya, aku tetap membalasnya dengan tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku doakan yang terbaik untuk tim kita. Dan untuk musuh kita.”
“Hah, kenapa kau mendoakan tim Niko?”
“Jangan salah paham dulu,” ucapku menenangkan, “Aku berdoa supaya mereka tidak kalah terlalu cepat saat melawanmu. Karena kalau mereka kalah terlalu cepat, kita bisa dituduh memakai ilmu hitam, hehe.”
“Ada-ada saja pikiranmu itu Yum, hahahahaha!”
Langit cerah, tetapi tanah lapangan pertandingan masih menyimpan jejak hujan tadi malam. Di beberapa titik, tanah terlihat gemuk seperti kantong air yang bisa pecah kapan saja. Aku mendengar seseorang menyebutnya fenomena waterlogging—keadaan di mana air terperangkap di bawah permukaan tanah, menciptakan kantong-kantong lembut yang tidak stabil.
“Kalau tidak dibereskan, bisa terjadi kecelakaan,” ujar Raffi, yang sedang berdiri sambil memeriksa lapangan. Aku mengangguk, setuju dengan penilaiannya.
Dengan penuh semangat, kami mulai memecahkan tanah-tanah gemuk itu. Dengan sekop, kaki, bahkan dengan tangan. Ada yang tumpah ke sepatu, ada juga yang meletup pelan seperti balon bocor. Aku tidak menyangka bermain dengan tanah akan seseru ini, harusnya tadi aju buat story IG sebentar, hahaha.
Butuh waktu hampir satu jam sebelum lapangan itu akhirnya cukup layak untuk digunakan.
“Lihat sisi positifnya,” celetuk salah satu anggota tim Maulana. “Kita bisa mengenang masa kecil dan bermain dengan air bekas kumur-kumur bumi.” Semua orang tertawa kecil, meskipun lelah sudah jelas terlihat di wajah mereka.
Lapangan hijau kini telah dipenuhi dua tim yang siap bertanding. Maulana berdiri di tengah-tengah tim kami, mengenakan ban kapten di lengan kanannya. Ia menatap ke arah lawan dengan tatapan penuh percaya diri. Namun, aku bisa melihat sesuatu di matanya—sedikit kerinduan, mungkin.