Pertandingan itu berlangsung di tengah riuh rendah penonton yang memenuhi tribun. Wajah Kayum tampak tegang, napasnya tersengal. Skor imbang terpampang jelas di papan, membuat setiap langkahnya terasa lebih berat. Namun, hatinya tahu bahwa ini adalah momen penentuan—momen yang akan menguji semua kerja kerasnya selama ini.
Di sisi lain lapangan, Tara memimpin timnya dengan intensitas yang berbeda. Wajahnya dingin, penuh keyakinan bahwa kemenangan ada di tangannya. Tapi itu bukan hanya permainan baginya. Ini adalah pertaruhan harga diri.
Awalnya pertandingan berjalan seimbang. Serangan demi serangan saling berbalas, seperti tarian indah di bawah gemuruh penonton. Namun, ketegangan itu memuncak ketika Tara, dengan gerakan yang tampak tak sengaja, menghantam tubuh kecil Arya. Arya terhuyung, jatuh, dan memegangi lututnya yang terluka.
“Foul!” seru Kayum, suaranya menggelegar, namun wasit tak menggubris. Tara hanya menyeringai, melangkah mundur tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Permainan pun berubah. Tara dan timnya mulai bermain kasar, menyerang dengan cara yang lebih agresif. Tackle-tackle keras dilancarkan, membuat beberapa anggota tim Kayum kehilangan keseimbangan. Dalam waktu singkat, skor yang semula imbang mulai memihak Tara.
Di bangku penonton, Raffi Lotus, meski suaranya lemah, “Jangan menyerah, Kayum! Kau bisa membalikkan keadaan!”
Namun, hati Kayum diliputi amarah. Matanya menatap Tara, pria itu seperti iblis di tengah lapangan. Kilasan masa lalu terlintas di benaknya—latihan keras hingga larut malam, rasa sakit di tulang betis yang tak pernah membuatnya menyerah, dan keinginan kuat untuk membuktikan bahwa ia lebih dari sekadar pemain biasa.
“Aku tidak akan kalah darimu, Tara.” Kayum menggeretakkan giginya, menahan rasa sakit di kakinya yang mulai berdenyut.
Ketika permainan berlanjut, Kayum mulai memimpin timnya dengan gaya permainan yang lebih gesit. Namun, setiap kali mereka mendekati skor, tim Tara dengan kejam menyerang balik. Rekan-rekan Kayum satu per satu jatuh, tubuh mereka terpental akibat kontak fisik yang keras.
Papan skor kini menunjukkan keunggulan tipis bagi tim Tara. Waktu tersisa hanya satu menit. Kayum berdiri di tengah lapangan, menggenggam bola dengan erat. Hatinya seperti dipenuhi oleh bara api, mendidih oleh kemarahan dan tekad yang tak terlukiskan.
Ia memejamkan mata sejenak, mendengar sorak-sorai yang membaur dengan detak jantungnya yang menggila.
“Apa yang kau tabur, itulah yang akan kau tuai,” suara pelatihnya kembali terngiang.
Kayum membuka matanya, tatapannya tajam. Dengan langkah mantap, ia bergerak melewati pertahanan lawan, mengelak dari setiap tangan yang mencoba merebut bola. Ketika Tara menghadangnya, Kayum tak ragu. Ia melompat, mengelakkan benturan keras, dan melemparkan bola ke arah keranjang.
Bola itu melayang seperti panah yang dilepaskan dengan penuh keyakinan, berputar di udara dengan keanggunan yang mendebarkan. Penonton menahan napas.
Swish!
Bola itu masuk dengan sempurna, mencetak tiga poin yang membawa tim Kayum unggul. Waktu di papan skor berhenti di angka nol.
Kayum terjatuh ke lantai, napasnya tersengal-sengal. Sorak-sorai pecah di seluruh arena, menggema memenuhi udara. Rekan-rekannya berlari menghampirinya, memeluknya dengan penuh kebahagiaan.