40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #4

Bukan Indigo

Meskipun tahu bahwa semua orang pada akhirnya akan mati, tetapi Randy sama sekali tidak pernah berpikir kalau waktunya akan secepat ini. Dia masih sangat muda, tampan dan bertalenta. Dia juga tidak pernah memakai narkoba, rajin berolah raga dan makan-makanan sehat. Memang dia sesekali masih minum alkohol tetapi masih sangat wajar.

Terlebih menurut Randy masih ada lebih banyak orang yang pantas mati ketimbang dirinya.

Hampir dua jam Randy berdiri di samping ranjang tempat tubuhnya terbaring, tersambung dengan peralatan medis penunjang hidup di ruang perawatan intensif setelah semalam menjalani pembedahan besar. Yang sayangnya tidak sepenuhnya bisa menyelamatkan, karena bahkan setelah dioperasi tubuhnya  malah dinyatakan koma, tidak merespon sama sekali. Satu-satunya tanda bahwa jasad itu masih hidup hanyalah garis acak mesin perekam detak jantung dan dada yang dipaksa naik turun oleh bantuan ventilator yang dimasukkan ke dalam mulut.

 Hidup tapi tidak bernyawa.

Randy menyeka air mata, lalu membuka telapak tangannya. Dia menatap tabung kecil pemberian perempuan semalam, ada angka nol tertulis di salah satu sudutnya, sangat kecil dan mungkin akan terlewat bila tidak diamati betul-betul. Sejujurnya, ada begitu banyak pertanyaaan di sana. Mulai dari benarkah wanita itu sungguh malaikat maut, sampai kenapa dirinya harus diperlakukan seperti ini? Toh, Randy tidak merasa pernah menyakiti siapapun. Memang, dia pernah menipu Mona tapi itu bukanlah sepenuhnya kesalahan Randy. Mona lah yang secara suka rela memberinya uang. Tanpa paksaan, sama sekali.

Namun sebelum memikirkan pada siapa, yang lebih memusingkan tidak lain dan tidak bukan adalah cara melakukannya. Karena bahkan di ruangan ICU ini saja Randy sendirian, dia satu-satunya arwah gentayangan. Tidak seperti di drama Korea yang ditonton Maria, di mana Rain yang jadi arwah bisa bertemu beberapa arwah lain untuk diberi penjelasan dan tata cara menjadi arwah yang baik, Randy seolah sengaja dijebak. Seakan-akan Tuhan sengaja mempermainkan dan tidak benar-benar ingin memberinya kesempatan.

Namun, rasa putus asanya langsung sirna begitu keesokan harinya, seseorang datang dan berbicara padanya. Seorang petugas kebersihan yang masih sambil memegangi tongkat pengepel lantai menatapnya kebingungan.

“Kamu serius bisa lihat saya?”

Di sisi lain, Raina yang ditanya mengangguk. “Ada apa ya, Pak?”

“Beneran?” Randy seketika berdiri, menutup mulutnya menggunakan kedua tangan sebelum akhirnya bersorak kegirangan. Akan tetapi sebelum Raina sempat mengeluarkan sepatah kata lagi, seseorang memanggilnya dari kejauhan. Mulan berdiri di ujung lorong, melambaikan tangan minta kawannya datang.

“Sebentar!” Raina mengangguk, lalu menata peralaatan kerjanya sebelum menghampiri Mulan. “Kenapa, Kak?”

“Harusnya gue yang tanya, lo kenapa ngomong sendiri?”

Raina mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaaan kawannya itu. “Aku ngomong sama Mas yang itu,” dia berbalik, menunjuk Randy yang masih berdiri di posisinya. “Dia aneh banget tahu. Masa dia tanya bisa lihat dia apa enggak. Kan nggak mungkin orang buta disuruh ngepel di rumah sakit,” gerutunya.

Mendengar jawaban tersebut Mulan seketika terdiam, mukanya berubah pucat dan bertanya, “Jangan bercanda, Rain. Sumpah ini nggak lucu.”

“Kan. Aku tadi juga merasa begitu. Memang aneh itu mas-mas.”

“Mas siapa sih, Rain? Di sana tuh nggak ada siapa-siapa.”

“Hah?”

“Terus yang lo ajak ngobrol apa, Raina?”

*_*

Kabar mengenai Raina yang baru saja melihat hantu menyebar dengan sangat cepat dan langsung menjadi bahan perbincangan. Bahkan saat mereka makan sore bersama, semua kawannya berkumpul untuk mendengarkan cerita langsung dari mulut Raina.

Lihat selengkapnya