Hanya Dion dan Maria lah yang senantiasa berada di sampingnya saat Randy koma. Keduanya bergantian menunggu di depan ruang ICU sambil berharap kesembuhan bagi Randy, tidak peduli seberapa banyak kutukan dan sumpah serapah yang ditujukan untuk pria tiga puluh enam tahun tersebut di luar sana.
Selain karena keduanya merupakan sahabat terdekat sekaligus keluarga yang Randy miliki saat ini, mereka juga menggantungkan hidup pada karier Randy. Kalau dia mati sekarang maka hidup keluarga mereka akan berantakan. Dion punya istri dan tiga anak perempuan yang harus dibiayai, sementara Maria masih punya banyak tiket konser KPOP yang harus didatangi. Belum cicilan rumah, kendaraan dan lain-lain yang masing-masing dari mereka harus bayar setiap bulannya.
Namun, hingga jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi belum ada tanda-tanda kalau Raina akan memberikan jawaban. Gadis itu terlalu naif. Padahal kesempatan tidak selalu datang dua kali, hanya beberapa orang Istimewa saja yang menurut Randy akan diberi hak untuk itu, termasuk dirinya yang diberikan tiket kedua meskipun syaratnya agak tidak masuk akal.
"Lo sudah sarapan?" Dion yang baru datang membawa dua gelas kopi dalam gelas kertas, lalu memberikan salah satunya pada Maria. "Nilam bawakan nasi kuning tuh di tas."
"Masak sendiri?"
"Nggak. Beli di dekat rumah." Dion menyandarkan punggungnya ke kursi besi tempatnya duduk. "Ya kali, dengan tiga anak yang masih kecil dan harus buru-buru di antar sekolah, kapan sih istri gue sempat masak? Kan lo tahu sendiri kalau biasanya gue yang masak."
Maria mengangguk-anggukkan kepalanya, lantas menyeruput sedikit isi gelas. "Soal kontrak gimana?"
"Beberapa sih memaklumi, tapi beberapa minta ganti rugi," jawab Dion penuh kesedihan. "Masalahnya, bagian terburuk dari semua ini bukan kondisi Randy. Kecelakaan ini jelas diluar kendalinya, tapi berita di luar sana benar-benar menghancurkannya. Inilah kenapa gue selalu minta dia buat hati-hati, karena dunia entertainment ini berat. Sekali terpeleset, dia bakal nyemplung ke jurang. Lagian sampai sekarang aku masih nggak habis pikir, buat apa sih Randy pergi malam itu? Mau ke mana coba?" lanjutnya sambil berdecih kesal.
"Apa mungkin dia mau ketemu Kak Joana?"
"Buat apa?" Dion menaikkan nada bicaranya, yang seketika membuat Maria diam. "Setelah semua yang terjadi selama ini, gue masih nggak menyangka kalau ternyata dia ular. Bisa-biasanya dia bilang Randy mencoba melakukan aksi percobaan bunuh diri."
"Kalau benar, gimana?"
"Nggak mungkin, Mar! Gue kenal Randy nggak setahun dua tahun. Kami kenal sejak SMA." Dion menarik napas panjang, lalu menerawang jauh ke belakang, ke masa-masa keduanya masih remaja, merintis karier besama dan menjadi seperti sekarang ini. "Kalau cuma masalah cinta sangat nggak masuk akal buat dia bundir. Randy itu meskipun tolol tapi nggak bodoh-bodoh banget."
Mendengar ucapan sahabatnya, Randy segera melayangkan pukulan ke bahu Dion tetapi segera berakhir karena dia kini embus pandang. Randy hanya berhasil memukul udara.
Di sisi lain, Raina yang sedang bekerja tidak bisa fokus karena pikirannya melayang ke mana-mana, terlebih sejak semalam Leon tidak mengiriminya kabar. Sementara teman-teman dan kakak pria itu pun juga tak tahu di mana Leon berada. Malah, menurut Mas Yunus, "Dia ambil cuti."
"Buat apa, Mas?"
"Mana gue tahu. Kan yang pacarnya lo. Memangnya dia nggak bilang?"
"Nggak, Mas."
"Kalian nggak berantem, kan?"
Omong-omong bertengkar, Raina sendiri tidak yakin apakah yang terjadi semalam cukup untuk disebut sebagai 'berantem'? Mengingat Leon meninggalkan rumah dengan senyuman, bukan kemarahan.
Lamunan Raina buyar saat pundaknya disentuh oleh seseorang, Mulan berdiri di sampingnya dengan seember air dan pel-pelan. "Rain, lo sakit?"
"Eh, aku sehat kok, Kak." Bersusah payah gadis muda itu menarik ujung bibirnya ke atas, membentuk senyuman selebar mungkin.
Namun, tampaknya itu tidak cukup untuk membuat Mulan percaya. "Yakin? Kalau lo sakit mending istirahat saja dulu. Ini biar gue yang kerjain."
"Nggak, Kak –"
"Sudah! Nggak apa-apa, ketimbang lo pingsan di sini kan nggak lucu."
Melihat kebaikan hati kawannya, Raina akhirnya mengalah. Dia kembali ke ruang kebersihan yang kebetulan sedang sepi, meletakkan peralatan kerjanya ke tempat semula lalu berjalan ke arah galon air mineral di pojok ruangan. Tepat ketika dia hendak mengisi gelas plastik menggunakan air, tiba-tiba saja seseorang masuk tanpa membuka pintu. Yang langsung tersungkur ke atas lantai.
"Randy?"
Pria itu meringis sambil memegangi dadanya, lalu sebelah tangannya mencoba menggapai tubuh Raina. "To –tolong!" rintihnya. "Gu –gue ..., sakit ...."
*_*
Seorang perempuan paruh baya berjalan di sebuah lorong rumah sakit sembari menenteng tas jinjing mungil di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang sebuket bunga mawar putih nun cantik. Langkahnya terhenti di salah satu pintu, tetapi sebelum membukanya dia terlebih dahulu mengembangkan senyuman selebar mungkin guna menyapa orang di ruangan. "Selamat siang, Anak Mama!"
Di atas ranjang, Linda menoleh sebentar tetapi segera mengarahkan pandangannya ke luar jendela kamarnya.