40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #7

Mantan Pertama

Randy masih tidak habis pikir bagaimana mungkin orang semiskin Raina menolak uang pemberian Joana mentah-mentah hanya karena tidak mau dianggap berbohong, padahal dia sendiri sangat membutuhkannya?

"Harusnya lo ambil saja uang tadi," ucap Randy saat keduanya dalam perjalanan pulang, di dalam angkutan kota yang kebetulan sedang lenggang. Hingga Randy yang sebenarnya tidak butuh tempat duduk, bisa menempati tempat kosong sendirian tanpa berpangkuan dengan penumpang lain. Karena meskipun dia tidak kelihatan, duduk bersama orang asing tidak membuatnya nyaman. "Lumayan kan buat bayar hutang."

Namun, Raina bungkam.

Selain karena dia tidak mau dianggap oleh penumpang lain karena ngomong sendiri, Raina juga masih kepikiran soal Joana. Bagaimana mungkin perempuan sebaik Joana bisa jatuh cinta pada pria di sebelahnya? Kenapa juga Joana berkata kalau bukan kepadanya lah Randy harusnya meminta maaf?

"Duit dia itu banyak, sejuta bukan apa-apa buat dia," sambung Randy.

"Kiri, Bang!" Raina mengetuk atap angkutan kota begitu sampai di depan gang kontrakannya, lalu dia turun setelah membayar. Disusul oleh Randy yang masih mengoceh di belakangnya.

"Lo kok diam saja sih? Marah?"

Raina masih bergeming. Mewati jalanan becek sisa hujan sore tadi dengan penuh kehati-hatian, takut tergelincir. Belum lagi saluran air sudah mulai naik, mengangkat kotoran dari dalam selokan.

"Harusnya kan gue yang marah karena lo nggak nurutin permintaan gue? Apa kata gue, Joana itu bukan perempuan baik-baik. Gue jadi kayak begini gara-gara dia. Kalau saja dia nggak –"

"Bisa diam, nggak?" Bentakan Raina seketika membuat mulut Randy berhenti. Tatapan mata gadis dua puluh tahun dengan mata iris mata hitam sempurna itu terarah tajam. "Ceriwis banget jadi cowok. Gue capek, mau istirahat dulu."

"Kalau lo istirahat nanti kelamaan, nasib gue bagaimana?"

"Ya nggak gimana-bagaimana!" Raina berbelok menaiki tangga gedung tempatnya tinggal yang kebetulan sore itu telah sepi, maklum saja kebanyakan orang di sana adalah pekerja pabrik, yang mana hampir sangat jarang berada di rumah, pun anak-anak pada di dalam rumah begitu malam tiba. Menghabiskan sisa hari dengan bermain ponsel atau menonton televisi. "Lagian, lo minta tolong tapi nggak jujur."

"Jujur, apa?"

Raina menghela napas pendek, lantas memutar bola matanya malas. "Lo nggak dengar apa yang Joana bilang tadi?"

"Lo percaya apa kata Joana?"

"Ya jelas gue lebih percaya ke Joana ketimbang ke lo!" tegas Raina sembari menghentikan langkah kakinya. "Sekarang mending lo kasih tahu gue, siapa saja perempuan yang sudah pernah lo sakiti? Berapa banyak mantan lo? Biar masalah ini cepat kelar." Dia kembali menaiki tangga. "Dan ingat! Ini nggak gratis!"

"Tenang saja kalau itu! Lo mau minta berapa? Seratus? Dua ratus?"

Sesampai di depan pintu kontrakannya, Raina segera berjongkok untuk mengambil kunci yang dia sengaja letakkan di dalam salah satu sepatu, yang sayangnya tidak berubah sama sekali. Ini berarti Leon juga belum pulang. Meskipun kecewa, tetapi Raina menolak mempertontonkannya di depan Randy.

"Nggak banyak-banyak," jawab Raina sembari memutar lubang kunci, "yang penting cukup buat bayar hutang dan beli emas. Gue bukan orang sekarah."

Randy tersenyum kecut. "Naif banget jadi orang. Miskin saja belagu lo. Gue jamin lo bisa bilang begini karena belum kepincut duit gede saja, kalau sudah ada tuh merah-merah di depan mata, gue yakin lo juga nggak bakal nolak."

"Sok tahu!"

"Ye! Gue memang tahu keles." Randy ikut masuk dan duduk di kursi ruang tamu. "Jangan lo pikir gue lahir langsung kaya. Begini-begini gue pernah miskin juga, meskipun nggak separah lo sih."

Lihat selengkapnya