40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #9

Kamu Siapa?

Maria meletakkan shoulder bag abu-abunya ke atas meja ruang tamu sebelum melanjutkan perjalanan ke dapur, menghampiri kulkas empat pintu. Dia mengambil sebotol minuman soda dingin, lalu menenguk isinya sambil duduk di kursi makan. Sesekali dia mengulat, mencoba mengendurkan otot-otot tubuhnya yang kelalahan akibat kurang istirahat.

Sebagai asisten tentu Maria adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Randy, dan meskipun pria itu menyebalkan nyatanya Maria lebih baik mendengar omelannya ketimbang tidak sama sekali seperti ini. Dia bahkan terkadang sering berhalusinasi mendengar suara Randy, melihatnya berjalan di dalam rumah, atau sekadar muncul di mimpi.

Memang benar, ikatan di antara dia dan Randy pada awalnya sekadar transaksi ekonomi tetapi lama kelamaan keduanya menjadi semakin dekat. Randy bahkan membelikannya tiket konser dari boy band Korea favoritnya secara cuma-cuma, membelikannya barang, sampai membantu menyekolahkan dua adik kandung Maria hingga lulus perguruan tinggi. Malah bisa dibilang Randy jauh lebih disayang oleh kedua orang tua Maria, jauh melebihi gadis berkacamata itu sendiri.

“Bagaimana? Sudah ada perkembangan?” tanya Sundari, ibu Maria lewat panggilan telepon.

Maria menempelkan botol plastik penuh air dingin ke kening. “Masih sama. Kata dokter kalau dia belum ada perkembangan sama sekali, minggu depan harus di-trakeatomi.”

“Apa itu buruk?”

“Mungkin akan berdampak ke suaranya,” jawab Maria lemah.

Perempuan paruh baya berambut pendek di layar telepon menghela napas panjang. “Nggak ada yang lebih penting dari hidupnya. Yang penting Randy sembuh dulu, perkara nyanyi itu kan soalan lain. Dia ganteng, bisa lah main sinetron atau semacamnya. Oh iya, omong-omong, orang tua Randy sudah ke sana?”

“Itu dia, Bu. Baik aku maupun Kak Dion sudah coba kontak keluarga ayahnya tapi kata ibu tirinya, mereka sekarang masih ada kerjaan di Belanda. Dan baru bakal balik akhir bulan ini.”

“Benar-benar ya mereka. Anak sendiri kecelakaan malah responsnya kayak begitu. Iya kalau Randy bulan depan masih bisa hidup, kalau nggak? Apa nggak menyesal itu mereka?”

Maria hanya tersenyum kecil. Bukan karena dia hendak menertawakan kemalangan Randy, justru sebaliknya, dia sangat kasihan pada pria muda ini. Karena sekalipun di luar sana ada begitu banyak orang memujanya, nyatanya di keluarganya sendiri Randy justru nyaris tak dianggap.

Ayah yang kaya dan punya segalanya seperti Sandy Bagaskara terlalu sibuk untuk mengurusi Randy. Bahkan menurut cerita Dion, sejak remaja Randy telah hidup sendiri, meninggalkan rumah ayah dan ibu tirinya. Padahal di rumah itu Randy pun sendirian, tidak punya saudara. Kedua orang tuanya lebih mencintai uang ketimbang anak mereka, dan ini bukan pernyataan Maria melainkan sempat dikatakan oleh mulut Randy sendiri.

“Sudah dulu ya, Bu. Aku mau mandi.”

Setelah mematikan sambungan, Maria bergegas membuang bungkus minuman ke tempat sampah, namun begitu benda itu masuk ke tujuan tiba-tiba saja terdengar suara dentuman. Cukup keras sampai-sampai membuat Maria terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Karena tidak masuk akal kaleng seringan itu bisa ...

“Tunggu! Suara apa itu?” Dia bergumam sendiri. “Jangan-jangan penyusup!”

Tangannya meraih tongkat baseball yang ada di ruang tamu, lalu bergegas naik ke lantai dua, arah di mana suara misterius itu muncul. Dan benar saja, begitu sampai di anak tangga terakhir, mata Maria dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang sedang mengorek-ngorek laci.

“SIAPA KAMU?”

Yang dimaksud menoleh, sama-sama kaget.

“PENYUSUP!” Maria berteriak.

*_*

“Kan gue bilang juga apa. Jangan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang! Kalau sudah kayak gini, bagaimana? Lo sendiri kan yang repot!”

Sudah semalaman penuh Raina mengomel, membuat telinga Randy –yang meskipun dia hantu –ingin meledak rasanya. Dia bahkan sampai harus mencari tempat lain untuk istirahat, menenangkan tubuh transparannya dari bombardir tak berkesudahan itu.

Padahal menurut Randy ini hanya spontanitas, mana bisa dia ingat kalau menjadi arwah artinya kehilangan akses pada uang? Karena seharusnya, uang tetaplah uang. Dia yang mengumpulkan uang itu, tidak adil rasanya kalau hanya karena menjadi arwah artinya dia kehilangan semua uangnya.

Lihat selengkapnya