40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #14

Yang Mencintai Seorang Diri

“Lo nggak pulang berhari-hari, nggak ngirim kabar tapi masih bertanya-tanya kenapa Raina jadi aneh dan suka ngomong sendiri?” Lia menggeleng-gelengkan kepalanya, diikuti oleh Yoga dan Yunus yang berdiri tepat di belakangnya. “Leon, Leon. Lo itu hampir bikin semua orang kebingungan berhari-hari.”

“Kami bahkan berpikir lo diculik,” tambah Yunus. “Organ dalam lo dijual dan diganti pakai gulungan kain. Lalu, mayat lo dibuang ke sungai dan baru akan ditemukan beberapa bulan kemudian. Sayangnya, karena sudah terlalu busuk, maka akan sangat sulit dikenali sehingga kami nggak akan tahu kalau itu jenazah lo.”

Ucapan Yunus seketika membuat suasana di dalam kedai ayam goreng sepi, semua orang termasuk Ida dan Yoga yang sedang memasak di dapur ikut menoleh, seolah tak percaya kalau kalimat itu benar-benar meluncur dari mulut manusia.

“Bisa diam, nggak!” Lia membentak sang suami sebelum pria itu bicara semakin ngawur. “Yon,” dia kembali mengalihkan pandangan pada sang adik yang masih terduduk lemas di bangku nomor 12. Leon bahkan tidak mengangkat kepala, meletakkannya di atas meja lengkap dengan kedua tangan terlipat sebagai bantalan. “Gue itu sayang sama kalian berdua. Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Kita ini keluarga.”

“Iya, maaf, Mbak. Bukan maksud gue mau main rahasia-rahasiaan, masalahnya kan gue nggak tahu kalau bakal kecopetan.”

“Masih untung si Raina nggak gila gara-gara nyariin lo,” lanjut Lia dengan tangan sibuk mengelap permukaan piring makan. “Pokoknya, mulai sekarang nggak ada acara pergi tanpa ngabarin. Kalau perlu bikin buku telepon manual sehingga kalau terjadi hal kayak begini lagi gampang, lo bisa minta tolong orang untuk menghubungi orang rumah.”

*_*

“Gue sudah coba ngirim pesan ke beberapa mantan Randy sejak semalam tapi sampai sekarang belum ada satu pun yang ngasih respon,” jelas Maria. “Kalau berbekal catatan yang diberikan oleh Raina, ada beberapa mantan yang sama sekali nggak ada kontaknya, bahkan setelah gue ngubek-ngubek ponselnya Kak Randy.”

Dion yang sedang duduk di samping ranjang menoleh ke atas ranjang tempat tubuh Randy terbaring, meskipun sudah berhasil keluar dari ICU nyatanya sahabatnya itu masih belum bisa lepas dari aneka selang dan kabel penunjang hidup. “Lo sudah coba ngecek buku catatan atau apa pun yang memungkinkan? Maksud gue, siapa tahu dia nyimpan catatan soal mereka di suatu tempat. Kan lo tahu sendiri Randy kayak bagaimana, saking banyaknya mantan dia bahkan bisa lupa nama cewek yang dia kencani.”

Maria tersenyum kecil mendengar ucapan Dion, perkataan itu agaknya juga tak berlebihan mengingat Maria ingat betul kalau beberapa tahun yang lalu Randy pernah digampar oleh seorang perempuan di sebuah pesta hanya karena dia menyebut nama yang salah ketika berkencan. Meskipun tidak sampai masuk ke pemberitaan media, tetapi sisa tamparannya meninggalkan bekas memerah di pipi, menyebabkan Randy harus mengurung diri di rumah selama beberapa hari karena paham bahwa jika publik mengetahuinya, maka itu akan menjadi masalah besar. Sudah cukup citranya sebagai playboy mengudara, tidak perlu baginya menambah-nambahi lagi atau para penggemar akan benar-benar membencinya.

“Sudah, Kak, tapi sejauh ini belum ada.” Maria menjawab, lalu mengambil segelas air mineral yang ada di atas meja samping komputer jinjingnya diletakkan. “Omong-omong Raina mana? Kok belum ke sini? Padahal tadi dia bilang bakal balik sebelum magrib.”

“Mungkin kerjaannya memang masih belum selesai.” Dion menengok jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Tunggu sebentar lagi. Lima atau sepuluh menit. Kalau dalam waktu itu dia belum datang juga, baru kita telepon.”

“Oke lah. Oh iya, habis ini kita beneran mau ke tempat Kak Milly?”

“Mau ke mana lagi? Cuma alamat Milly yang kita tahu,” ungkap Dion. “Lagi pula, melihat rekam jejak hubungannya dengan Randy, kayaknya dia cukup mudah buat diambil hatinya.”

“Kakak benar. Kak Milly kan bucin abis ke Kak Randy.”

“Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Randy.”

Di tempat yang sama, pemilik cerita hanya bisa nyengir saat Dion dan Maria membicarakan kisah cintanya. Karena di samping sosok Milly yang cerdas serta cantik, tentu saja, nyatanya menjalin asmara dengan wanita itu tidak semudah yang dipikirkan orang-orang. Malah, begitu nama itu disebut yang dirasakan oleh Randy ialah merinding, seluruh bulu kuduknya meremang, seolah-olah baru saja melihat hantu masa lalu.

Randy ingat betul pertemuan pertamanya dengan Milly dimulai dua belas tahun yang lalu, lebih tepatnya saat dia masih berkuliah di salah satu universitas swasta tempat Milly mengajar. Akan tetapi, keduanya baru menjalin hubungan beberapa tahun belakangan, lebih tepatnya sebelum dia menjalin asmara dengan Joana Dane.

Pada awalnya, bisa dibilang Randy sangat mengagumi Milly, sama seperti kebanyakan orang akan langsung memuja gadis itu saat melihatnya. Sebab Milly Asmara Dewi memang memiliki paras yang luar biasa cantik, tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih dan pipi kemerah-merahan, bibirnya mungil, matanya lebar dengan iris kebiruan, warisan dari sang ayah yang seorang Belanda. Pun dengan profesi mentereng sebagai pengajar membuat nilainya bertambah.

Namun, semua tidak berlangsung lama karena begitu menjadi kekasih, bagi Randy, Milly tidaklah lebih dari gadis penganggu yang meminta kabar dua puluh empat jam non stop. Milly bahkan tidak sungkan menulis status galau di media sosial pribadinya jika Randy tidak membalas pesan, yang otomatis membuat para penggamar menjadikannya bahan perbincangan. Bahkan selama dua tahun keduanya berpacaran, hampir setiap hari Randy harus berurusan dengan wartawan, yang alih-alih mewawancarainya untuk kebaikan, justru menghujaninya dengan pertanyaan seputar isu perselingkuhan. Memang, publikasi tetaplah publikasi, tetapi kalau kebanyakan, tidak bagus juga, kan?

Tidak lama, pintu ruang VIP tempat mereka berada diketuk. Raina muncul dengan mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru bergambar Minion, serta membawa tote bag di tangan kanan. “Maaf, tunggu lama ya, Kak?”

“Nggak apa-apa,” jawab Dion. “Kita mau langsung saja atau –?”

“Kalau memang sudah siap sekarang nggak apa-apa.” Raina menoleh ke pojok ruangan, tempat arwah Randy berada. “Lo kenapa? Bukannya senang mau ketemu mantan.”

“Nggak usah meledek!” Bibir Randy cemberut.

Maria yang melihat hal tersebut menoel lengan Raina. “Kak Randy?” Yang langsung dijawab anggukan yakin oleh Raina. “Kenapa dia?”

“Nggak tahu. Aneh. Padahal sebelumnya dia bersemangat banget waktu mau ke rumah Kak Mona. Sekarang malah layu. Kayak sayur kelamaan disimpan.”

Lihat selengkapnya