40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #15

Cinta yang Tulus

“Gula darah Anda cukup tinggi, jadi tolong dijaga makannya ya, Bu.” Dokter muda menjelaskan pada pasien lansia di hadapannya, seorang perempuan berambut pendek dengan kacamata yang menyambung penglihatan rentanya. “Kurangi nasi putih dan makanan manis, terutama yang mengandung gula tambahan.”

Mardian mengangguk, bibir tipisnya terangkat membentuk senyuman anggun di wajah tuanya. Walau usianya tak lagi muda, namun gurat-gurat kecantikan masih tergambar jelas di sana, menjadi penanda bahwa saat masih belia dia bukan perempuan sembarangan. Ada begitu banyak pria yang mengantre untuk menjadi pasangannya, hanya saja hidup tidak selalu berjalan sebagaimana dinginkan. Karena di usianya yang memasuki kepala tujuh, Mawardi bahkan harus berangkat ke rumah sakit seorang diri.

Di saat teman-teman sebayanya datang ke klinik dibarengi pasangan, anak atau cucu, Mardian justru melakukannya sendiri. Untungnya, meskipun kesehatannya tidak begitu baik, tetapi tubuhnya masih cukup bugar.

Setelah berpamitan dengan dokter dan keluar dari ruang pemeriksaan, Mardian berjalan menuju apotek untuk menebus obat. Diletakkannya resep pemberian dokter di kotak yang disediakan, lalu berjalan ke satu-satunya kursi tunggu yang tersisa.

“Boleh saya duduk?” tanyanya basa-basi, pada perempuan yang telah lebih dulu ada di sana.

Yang dimaksud tampak terkejut, mengusap-usap muka lalu mengangguk. “Silakan, Bu. Maaf saya ketiduran.”

Mardian meletakkan tas jinjingnya ke atas bangku, barulah kemudian mendudukkan bokongnya dengan penuh kehati-hatian ke sana. Maklum saja, dengkul kanannya agak kaku, terlebih setelah asam uratnya semakin tinggi. “Kurang tidur ya, Mbak?”

“Iya, Bu. Namanya juga di rumah sakit, tidak bisa nyenyak. Eh, tunggu, ini Bu Mardian ya?”

Dengan kebingungan wanita tua itu mengangguk, lalu balik bertanya, “Mbak siapa ya? Maaf saya sudah tua, gampang lupa.”

“Ini Rindu, Bu.”

“Rindu?”

“Anaknya Joko.”

“Yang dulu kerja di penggilingan?”

“Benar.”

Mardian agak terkejut saat mengetahui perempuan yang telah lama tak ditemuinya itu mendadak muncul di depan mata. Namun, dia pada akhirnya melemparkan senyuman lebar juga, membalas apa yang Rindu berikan kepadanya. “Kamu kok ada di sini? Siapa yang sakit, Rin?”

“Kakeknya anak-anak, Bu.”

“Bapakmu?”

“Mertua saya.”

Meskipun dulunya bertetangga, tetapi sudah sangat lama Mardian tidak melihat Rindu. Lebih tepatnya sejak Rindu menikah dan diboyong suaminya pindah ke desa lain. Dan jelas bahwa yang menjadi perhatian Mardian kini tidak lain dan tidak bukan adalah penampilan Rindu. Sebab begitu banyak yang berubah darinya.

Kalau mereka hanya lama tak berjumpa sekalipun Mardian pasti masih bisa mengenalinya, akan tetapi Rindu yang ada di depan matanya kini seolah bukan Rindu yang dia kenali. Dia terlalu tua untuk usianya, menggambarkan betapa berat hidup yang wanita ini alami.

Mardian memang pernah mendengar selentingan dari para tetangga bahwa putri Joko mendapatkan kehidupan berat selepas menikah. Namun untuk warga desa mereka hal tersebut dianggap lumrah. Kemiskinan adalah makanan sehari-hari bagi mereka, terlebih yang berasal dari keluarga tak berada yang menggantungkan hidup dari ladang orang lain.

*_*

Sesuai kesepakatan siang itu, Milly datang ke rumah sakit sembari membawakan beberapa tangkai bunga mawar biru sebagai buah tangan, akan tetapi begitu dia sampai di depan pintu kamar perawatan Randy, langkah wanita berambut pendek tersebut terhenti.

Milly tak langsung membuka atau mengetuk pintu, tangan kanannya meremas pegangan tas jinjing kecil berwarna hitam miliknya kuat-kuat, sementara tangan yang lain memegang buket bunga. Sekuat tenaga dia menahan air yang ada di pelupuk matanya agar tidak jatuh, sebab kedua matanya telah memanas bahkan sebelum dia bisa melihat Randy secara langsung.

TTak bisa dimungkiri, sekalipun hubungan keduanya sudah lama berakhir, bagi Milly tidak ada yang lebih dia cintai selain Randy. Pria itu memang bukan pacar pertamanya tapi Randy jelas pria teristimewa dalam hidupnya.

Selama kebersamaan mereka sudah terlalu banyak kenangan yang tercipta, baik yang indah maupun yang buruk. Namun, bukankah semua hubungan memang begitu? Tidak mungkin manusia hanya menikmati keindahan tanpa pernah melihat kesedihan, begitu juga sebaliknya.

“Kak?” Maria memanggil dari kejauhan, melangkah menghampirinya. “Kenapa malah berdiri di sini? Langsung masuk saja.” Dia menyentuk knop pintu dan mendorongnya, membuat Milly bisa melihat dengan jelas tubuh Randy yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.

Sesuai dugaan, pemandangan menyedihkan itu benar-benar meluruhkan benteng pertahanan yang susah payah Milly bangun. Tak mau suasana menyedihkan menguasai, buru-buru dia menyeka air mata, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan. Sementara Maria lebih memilih duduk di bangku tunggu, memberikan kesempatan pada Milly dan Randy.

Omong-omong Randy, dia sebenarnya telah berada di ruangan sejak tadi, berdiri di samping jasadnya dengan perasaan harap cemas. Dia berharap Milly lekas datang, tetapi juga cemas karena takut mantan pacarnya itu akan berbuat yang tidak-tidak. Maka, tepat saat dia melihat perempuan itu datang, mata Randy langsung terbuka lebar, dia bahkan spontan berdiri padahal tahu bahwa dirinya tak kasat mata.

Milly berjalan mendekati meja kecil di samping tempat tidur untuk meletakkan bunga yang dia bawa ke sana, lalu menoleh ke arah Randy. “Hai, Ran,” sapanya dengan suara serak menahan tangis. “Apa kabar?”

“Sudah tahu gue sakit, masih tanya.” Randy menggerutu. Namun, semua segera buyar begitu dia menyadari kalau perempuan di hadapannya kini menunduk, menutup muka dengan kedua tangan dan terisak-isak. Pemandangan yang jelas tidak pernah dia bayangkan. Memang, malam sebelumnya Randy tahu kalau Milly juga sudah menumpahkan air mata tapi menurutnya itu sekadar air mata buaya semata. Terlebih malam itu ada Dion, Maria dan Raina di sana. “Mil? Lo kenapa?”

Lihat selengkapnya