“Lagian bisa-bisanya kalian mengira nyokap gue sudah mati.” Raina langsung mendapatkan pelototan begitu menyampaikan ulang apa yang baru saja dikatakan oleh Randy kepada tiga orang di sebelahnya. “Bukan aku!” Dia segera mengangkat tangan dan menunjuk bangku kosong di samping kirinya, “Randy lho!” lanjutnya untuk membela diri.
Dion mengusap wajahnya sendiri kasar, tanda tidak habis pikir. “Lalu, kenapa selama ini dia nggak pernah bahas tentang nyokap kandungnya?”
“Kalian nggak pernah tanya.” Jawaban Randy singkat, padat dan disalin sempurna oleh Raina, bahkan gadis itu juga mengangkat kedua bahunya bersamaan sebagaimana yang dilakukan oleh arwah Randy.
Mendengar hal tersebut, Dion dan Maria hanya bisa saling tatap sebelum dengan kompak menghela napas panjang.
“Justru itu, Kak Randy. Karena selama ini lo nggak pernah membahas nyokap, bahkan di peringatan Hari Ibu sekalipun, jadinya gue dan Kak Dion berpikir kalau lo sudah nggak ada nyokap. Dan karena itu juga, kami nggak mau ngungkit-ngungkit, takut bikin lo sedih.”
“Lagian lo juga aneh, Ran, dikasih kesempatan kedua buat hidup bukannya ketemu nyokap malah cari cewek!” komentar Raina. “Padahal kalau dipikir-pikir perempuan pertama yang harusnya lo mintai permohonan maaf itu ya nyokap lo. Bukan apa-apa, selain doanya mustajab, yang namanya anak pasti punya banyak kesalahan terhadap orang tuanya.”
Alih-alih marah seperti biasa, kali itu Randy hanya terdiam dan langsung berdiri.
“Mau ke mana lo?” tanya Raina keheranan. “Ran? Randy?”
Namun, pria itu mengabaikannya. Bahkan dia tidak menoleh saat Raina berteriak, dan menjadikannya pusat perhatian. Dan sebelum suasana menjadi semakin tidak kondusif, Dion dan Maria segera meminta Raina kembali duduk.
“Sudah! Sudah! Biarkan saja, Rain.”
“Nanti kalau butuh juga pasti balik sendiri. Lagian, Kak Randy nggak akan betah sendirian. Mau ngomong sama siapa kalau bukan sama lo?”
“Sudah tua masih saja kayak anak kecil,” sambung Dion seraya mengambil botol air mineral di atas meja. Dia hendak membuka penutupnya saat tiba-tiba saja Milly melemparkan tatapan pedih ke pada mereka. “Ada apa, Mil?”
“Ada baiknya kalian nggak bicara sekasar itu tentang Randy. Terlebih hubungannya dengan sang ibu tidak sama dengan hubungan orang kebanyakan.”
“Maksudnya?”
“Yon, aku tahu kalau kamu dan Maria kecewa karena dibohongi, tapi sebetulnya nggak ada yang lebih sakit hati malam ini dibanding Randy.” Dengan suara serak menahan tangis Milly menunduk, sesekali dia juga meremas ujung meja kuat-kuat untuk mengalihkan rasa sakit yang menjalar di dalam dirinya. “Bukan maksud dia mau jadi anak durhaka. Nggak! Justru Randy itu sayang banget nyokapnya, tapi yang kalian harus pahami adalah hubungan mereka nggak pernah benar-benar baik. Bahkan sudah lebih dari dua puluh tahun mereka tidak bertemu.”
*_*
Bohong kalau Randy tidak merindukan sang ibu.
Tidak peduli seberapa keras usaha yang dia lakukan untuk melupakan, nyatanya ibu tidak sama dengan mantan kekasih.
Kenangan terakhir yang dia miliki tentang wanita tersebut terjadi hampir dua puluh satu tahun lalu, lebih tepatnya di hari di mana Randy meninggalkan rumah ibunya bersama sang ayah.
Randy ingat betul tatapan penuh kebencian yang diarahkan oleh wanita yang sudah melahirkannya itu. Padahal dia tidak merasa memiliki salah apa-apa. Bukankah yang berselingkuh papanya? Tetapi kenapa ibunya malah ikut memusuhinya? Apa hanya karena dia mirip papanya?
Bertahun-tahun lamanya Randy dihantui pertanyaan tak terjelaskan, mencoba berdamai dengan kehidupan barunya. Hanya saja, mengganti sosok ibu tidak semudah berganti kekasih. Tidak peduli sebaik apa istri baru papanya, nyatanya dia tetap orang asing. Setidaknya, kalau memang Asri Winarsih menganggapnya anak, harusnya dia akan langsung pulang begitu mendengar putra tiri semata wayangnya koma, bukan? Apalah arti bisnis jika dibandingkan dengan nyawa seorang anak?
Jangankan Asri, Bagaskara sendiri saja tidak peduli pada anaknya.
Sementara itu, Raina yang sejak tadi berdiri di balik jendela kamar tidak berhenti memperhatikan Randy. Sebab selama dua minggu bersama, baru kali ini Raina melihat pria tersebut murung. Layu seperti daun yang terlalu lama dijemur. Hanya semua itu bisa dimaklumi, terlebih setelah mendengar cerita dari Milly.
Raina yang tak tahan melihat kesuraman pada akhirnya melemparkan potongan kertas ke tubuh transparan Randy, yang tentu saja tembus, tetapi bukan masalah karena tujuan utama Raina hanya agar dia mendapat perhatian. Begitu Randy berbalik, dia langsung melemparkan pertanyaaan, “Mau sampai kapan lo mau ngejogrok di sana?”
“Lo sendiri, mau sampai kapan ngelihatin gue?”
Raina yang tertangkap basah tersenyum malu-malu. Lalu, keluar dari jendela untuk menghampiri dan duduk di samping Randy. “Milly sudah cerita.”
“Soal?”
“Hubungan lo sama Nyokap.”