40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #18

Rumah Sakit

Setelah mematikan sambungan telepon, Raina menyambar tas dan jaketnya keluar dari kamar. Lalu, mengetuk pintu kamar Maria untuk berpamitan. Tidak lupa dia menjelaskan bahwa ibunya baru saja mengalami kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit umum daerah, yang kebetulan masih satu kabupaten dengan tempat mereka berada sekarang.

“Kalau begitu jangan pergi sendiri!” kata Maria tak kalah panik. “Sebentar ya! Gue bangunkan Kak Dion dulu. Biar dianterin.”

Raina yang merasa tak enak hati justru menolak. “Ini sudah terlalu malam. Kak Dion pasti capek. Biarkan dia tidur. Gue bisa naik kendaraan umum kok.”

“Justru karena ini sudah malam, Raina! Ingat, ini bukan Jakarta. Meskipun lo akamsi, tetap saja jarak dari rumah ini ke jalan besar saja sekitar dua kilometer. Lo mau naik apa ke sana? Jalan kaki? Kalau lo dibegal, bagaimana? Sudah! Tunggu sebentar!” Maria mengayun-ayunkan telunjuk ke muka Raina, menandakan bahwa yang baru saja dia katakan bukanlah kompromi melainkan perintah.

“Sudahlah, Rain!” Randy yang berdiri di belakangnya ikut memberi pendapat. “Anggap saja ini fasilitas karena lo kerja sama gue. Lagian, kalau sampai lo beneran kena begal, terus kenapa-kenapa, nasib gue bagaimana?”

Tidak seperti biasanya, Raina memilih tak berdebat dan hanya menghela napas panjang. Dia sama sekali tidak punya energi untuk menanggapi omong kosong Randy. Dan begitulah akhirnya dia bisa berada di dalam mobil, duduk tepat di samping Dion yang menyetir di kegelapan malam. Tentu, tidak lupa dengan arwah Randy di jok belakang. Sementara Maria sendiri memutuskan tinggal, sekalian menjaga Mardian, meskipun alasan sebenarnya ialah agar mereka punya alasan untuk datang ke sana lagi besok.

Sepanjang perjalanan Raina tidak bisa menyembunyikan kecemasan dari raut mukanya. Terlebih saat ditelepon tadi penjelasan Nasya tidak begitu jelas, terlalu banyak isak tangis hingga ucapannya terjeda-jeda.

Namun, begitu mereka sampai di rumah sakit yang dimaksud, alangkah kagetnya Raina saat mendapati nenek dan adik perempuannya tengah berbincang bersama dua orang pria berseragam polisi di depan unit gawat darurat.

“Sya?”

Yang dipanggil menoleh. “Kakak!” Lalu, Nasya menghambur ke pelukan sang kakak. Masih dengan suara yang terisak sebagaimana di telepon, Nasya mengadu. “Ibu, Kak! Ibu!”

“Cup! Cup! Jangan nangis ya. Ibu sedang diobati. Ibu pasti sembuh,” kata Raina bukan hanya untuk menghibur sang adik tetapi juga untuk meyakinkan dirinya sendiri. Detik berikutnya, dia menoleh pada Tuti yang hanya berjarak dua meter dari posisinya sekarang. Akan tetapi, wanita tua itu justru memalingkan muka seolah menghindari tatapan matanya. “Uti, ini kenapa sebenarnya? Kenapa Ibu bisa jadi seperti ini?”

Alih-alih Tuti, yang memberi respon justru salah satu dari dua polisi. Lebih tepatnya, pria berbadan besar dengan tahi lalat di ujung hidung. “Selamat malam, Mbak,” sapanya dengan tangan terulur. “Saya Praja dan ini teman saya, Gatot. Kami dari kepolisian mendapatkan laporan bahwa ibu Anda mengalami penusukan dan pelakunya ialah saudara Siswoyo.”

“Bapak? Bapak saya?”

Praja mengangguk dengan raut muka mengiba. “Benar sekali. Tetapi Anda tenang saja karena saat ini pelaku sudah diamankan di kantor polisi.”

Namun, pernyataan polisi sama sekali tidak menenangkan hati Raina. Justru dia semakin dilanda kecemasan luar biasa, membayangkan betapa mencekamnya suasana di rumah saat kejadian berlangsung, serta nasib adik-adiknya yang menjadi saksi mata. Hingga tanpa sadar, air mata Raina kembali menetes. Dia mendekap tubuh Nasya erat, mencoba memberikan kekuatan pada gadis yang kini pakaiannya berlumuran darah ibu mereka itu.

Di sisi lain, Randy yang sejak tadi mengikuti Raina hanya bisa terdiam. Bukan hanya karena pemandangan yang dilihatnya teramat memilukan dan terlalu berat untuk dilewati anak seusia Raina dan Nasya, tetapi juga karena dia mengenal wanita tua yang dikatakan sebagai nenek Raina. Karena itu juga, tubuh transparan Randy seolah membantu. Bahkan Randy tidak bereaksi apa-apa saat Dion yang menyusul mereka menembus tubuhnya.

“Bagaimana, Rain?”

Belum sempat mulut Raina menjawab pertanyaan Dion, pintu IGD terbuka. Seorang dokter wanita paruh baya memanggilnya, “Dengan keluarga Ibu Rindu?”

“Saya anaknya, Dok!” Raina melepaskan pelukan Nasya dan bergegas mendekat. “Bagaimana kondisi ibu saya? Beliau tidak apa-apa, kan?”

Hanya saja, dari tatapan sang dokter saja Raina sudah tahu kalau yang akan dia dengar berikutnya bukanlah kabar bagus. “Luka Ibu Anda sangat serius. Untuk itulah, kami harus segera mengambil tindakan operasi.”

*_*

Lihat selengkapnya