40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #22

Kenyataan Pahit

“Lalu, rencana selanjutnya apa?”

Di dalam tenda kaki lima, Raina sengaja memilih duduk terpisah dengan Leon dan ketiga adiknya, bergabung bersama Dion, Maria serta Milly yang tergabung via panggilan video.

“Karena jujur saya, gue belum tahu Nyokap bakal dirawat sampai kapan. Sedangkan kita diburu waktu, belum lagi tabungnya si Randy baru terisi berapa persen doang.”

“Raina benar!” Milly menyahut. Sama seperti yang lain, dia pun sedang makan malam dengan latar ruang tamu rumahnya sendiri. “Karena jujur, minta maaf itu nggak gampang. Bahkan sampai sekarang saja, bisa dihitung jari berapa yang mau balas pesanku.”

“Itulah kenapa gue dan Kak Dion sempat kepikiran buat langsung bawa Bu Mardian ke Jakarta.”

“Bagus itu, Kak Mar.”

“Justru itu, Rain.” Kali itu giliran Dion yang menyela. “Kami bingung bagaimana cara supaya nyokapnya Randy mau ikut. Belum lagi soal komunikasi, karena satu-satunya orang yang bisa menghubungkan kami dengan Randy itu cuma lo. Kalau lo nggak ikut, gimana caranya kita bisa nyambungin Randy sama nyokapnya?”

“Kalau itu sih gampang, Kak, kan bisa pakai video call.”

Dion dan Maria seketika saling pandang, menyadari betapa bodohnya mereka yang bisa-bisanya melewatkan hal itu. 

“Memang bisa?” Maria bukan bertanya ragu-ragu.

“Kayaknya sih bisa.”

“Yang jelas dong, Rain! Jangan modal kayaknya doang! Masalahnya, ini menyangkut nyawa orang lho,” protes Maria.

Dari tampilan layar ponsel Maria, Milly sempat menyeruput mi kuah yang dia makan sebelum ikut berkomentar, “Randy sekarang hanya berupa arwah, dan setahuku, berdasarkan film serta komik yang aku baca, arwah sangat sulit ditangkap menggunakan kamera.”

“Bagaimana kalau kita coba dulu?”

Usulan Dion langsung disetujui, tetapi mereka bahkan baru menyadari kalau yang dimaksud tidak berada di sana.

“Lo serius dia nggak ada di sini?”

“Iya, Kak Mar.” Raina celingukan ke sekeliling, berharap bisa nememukan sosok yang dimaksud di sekitar sana, akan tetapi nihil. “Padahal tadi dia masih ada lho.”

“Apa jangan-jangan dia ketinggalan di polsek?”

“Nggak mungkin, Kak Dion. Lha wong tadi saja waktu aku turun dari angkot dia masih ada. Malah sempat aku marahin karena nggak berhenti ngomel.”

*_*

“Entah apa yang ada di kepala si Rindu sampai bisa kawin sama laki modelan bokap lo, Rain. Apa mungkin bokap lo pakai guna-guna ya? Makanya mata Rindu ketutup dan nggak bisa melihat kebusukan itu orang.”

Karena tak mau dianggap gila oleh adik-adiknya, Raina hanya mendiamkan ocehan Randy sepanjang angkot berjalan. Barulah, begitu mereka sampai dan adik-adiknya meminta makan dan digiring oleh Leon masuk ke warung lalapan, Raina yang tak tahan memuncak juga.

“Bisa nggak sih omongan lo dijaga? Dari tadi lho gue dengar mulut lo nggak berhenti ngomong. Gue diam bukan berarti nggak marah ya? Gimanapun juga yang lo omongin ini orang tua gue.”

“Jadi, lo nggak terima?”

“Menurut ente?” Raina berjalan menyusul adik-adiknya, meninggalkan Randy yang hanya bisa melihatnya dengan tatapan kesal luar biasa.

Berhubung tak masih kesal, ditambah tak mau jadi penonton kelaparan, dia pun memutuskan jalan-jalan sendirian. Menyeberangi jalan raya, dan berniat menemui Rindu, hendak memastikan bahwa wanita itu sudah baik-baik saja. Tanpa Randy ketahui bahwa keputusannya tersebut justru berakhir –dia tidak tahu apakah ini kabar baik atau malah buruk. Yang jelas, Randy sekarang bersimpuh di atas lantai kamar mandi.

Tubuhnya terlalu lemah untuk bangkit. Pun napasnya terengah-engah, persis seperti orang tercekik. Persis seperti Rindu di hari itu. Randy ingat betul tatapan ketakutan yang ditujukan Rindu muda kepadanya sebelum tragedi terjadi.

“Kamu janji kalau ini nggak akan sakit, kan?”

Dengan penuh percaya diri Randy mengangguk. “Kalau sakit, nggak mungkin Papa dan Tante Asri mau melakukannya berulang-ulang. Malah, setiap kali keluar dari sini mereka selalu kelihatan bahagia.”

*_*

“Ini teman-temannya Raina ya?”

Dion dan Maria tersenyum, kemudian membalas uluran tangan lemah Rindu yang lebih dulu diajukan. “Cepat sembuh ya, Bu.”

“Terima kasih, sudah mau mengantar Rain pulang. Kalau nggak ada kalian, Ibu nggak bisa bayangin bakal kayak apa jadinya,” ucap Rindu tulus, sembari mengelus-elus tangan lembut Maria. “Oh iya, kalian tidur di mana selama di sini?”

Pertanyaan Rindu sangat wajar, mengingat baik Raina maupun kedua kawan dan kekasihnya sama-sama sepakat untuk tidak mengatakan hal sebenarnya pada wanita itu. Lagi pula, menyatakan bahwa mereka ke sana untuk mengantar arwah selebriti untuk bertemu orang tuanya, tentu bukan hal yang mudah diterima orang awam seperti Rindu. Bisa-bisa, mereka dianggap gila.

Meskipun, sepanjang acara makan malam hingga sekarang, Leon tidak berhenti melirik ke arah Raina. Dia merasa ditipu.

“Kenapa kamu nggak jujur dari awal?” Adalah todongan pertanyaan yang diberikan Leon beberapa jam sebelumnya, tepat begitu pemuda berambut tebal itu mengetahui rencana besar Raina dan kedua orang –selebriti, meski lebih cocok disebut asisten selebriti, tapi siapa yang peduli? Yang jelas, menurut Leon, mereka sering wara-wiri –yang bisa dilihatnya di media sosial itu.

“Memang kalau aku cerita kamu bakalan percaya?”

“Kapan aku pernah nggak percaya ke kamu?”

Raina seketika terdiam, menatap wajah serius Leon. Dengan bibir tertutup rapat, kedua alisnya turun. “Maafin aku ya, Sayang.”

“Jangan diulangi lagi ya?” Tangan Leon menyentuh pipi Raina, lalu dia tersenyum. “Aku nggak marah, tapi tolong terbukalah. Aku hanya nggak ingin kalau sampai terjadi apa-apa ke kamu. Toh, kamu juga baru kenal mereka.

Lihat selengkapnya