40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #23

Yang Terjadi di Gudang Sekolah

“PAPA?”

Sandi dan Asri seketika menoleh saat mendengar suara Randy muda dari arah pintu gudang. Keberadaan bocah itu sontak membuat keduanya gelagapan.

Sandy buru-buru meraih pakaiannya yang ditumpuk di pojokan, di atas lantai gudang yang kotor, begitu pun dengan Asri. Bedanya, gadis muda itu langsung berlari, menutup diri di balik rak gudang tempat barang-barang lama disimpan.

“Kenapa kamu ada di sini?” Sandy Bagaskara mencoba memecah perhatian sang anak, dengan suara setenang mungkin dia mengancingkan resleting celananya. “Maaf ya, Papa lupa kalau harus jemput kamu.” Begitu selesai, dia menghampiri, lalu menepuk bahu Randy. “Ya sudah, ayo kita kembali ke rumah. Di sini banyak debu. Mamamu pasti sudah masak makan siang untuk kita.”

Padahal, selama lima balas tahun hidup sebagai anak tunggal, tidak sehari pun Randy tidak mengagumi ayahnya. Pria pekerja keras yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, yang jangankan memukul, meninggikan suaranya saja Sandy tidak pernah. Akan tetapi, entah mengapa sentuhan pria itu kali ini teramat berbeda. Bukan hanya mengintimidasi, di sisi lain Randy juga dibuat hancur.

Terlebih saat keesokan harinya Sandy datang ke kamarnya dengan membawa sebuah kotak besar. 

“Apa ini, Pa?” Randy yang keheranan bertanya.

“Buka saja.”

Tanpa pikir panjang, Randy menarik pita cokelat yang ada di bagian atas kotak, lalu mengangkat sisi penutupnya. Detik berikutnya sebuah mainan robot-robotan besar terlihat, menyambut Randy. “WAH!” Dengan bungah dia mengangkat, mengeluarkan benda itu untuk dikagumi. “Makasih ya, Pa.”

 “Kamu senang?”

Randy mengangguk cepat, bersemangat. “Banget, Pa. Aku nggak nyangka kalau Papa akan membelikannya sekarang. Bukannya Papa bilang baru akan membelikanku mainan ini saat ulang tahun?”

“Mulai sekarang anak Papa boleh minta apa saja tanpa harus menunggu ulang tahun.” Jawaban Sandy seketika membuat senyum di bibir Randy terhenti. Di sisi lain, menyadari perubahan pada sang anak, Sandy justru tersenyum. Malah, dia dengan lembut menyentuh dan mengusap-usap rambut bocah itu. “Papa berjanji akan memberimu lebih banyak hal, apa saja, selama kamu bisa menjaga rahasia.”

Kepala Randy tertunduk, tak berani menatap mata sang ayah. Lalu, dengan gugup dia bertanya, “Ke –kenapa?”

“Kamu masih terlalu kecil untuk paham, Ran. Tapi yang jelas, kalau mamamu sampai tahu, itu nggak akan baik. Paham?”

*_*

Di dalam angkutan kota yang melaju di kegelapan malam, Randy yang sedari tadi duduk bersebelahan dengan Leon tidak berhenti mengenang masa lalu.

Potongan-potongan adegan muncul selayaknya dalam serial drama Korea yang bisa dia tonton bersama Maria. Hanya saja, Randy tidak pernah benar-benar menemukan cerita sesempurna perjalanan keluarganya. Terlalu mengada-ada, tetapi tidak bisa disangkal kebenarannya.

Mungkin yang dikatakan Sandy benar, harusnya Randy diam saja pada saat itu. Karena begitu dia memberitahukan kebenaran ini pada sang Ibu, Mardian mengamuk.

Berhari-hari kedua orang tuanya bertengkar. Bukan hanya memaki dan berteriak, Mardian juga membanting segala macam benda yang berada di rumah. Tidak ada seorang pun –termasuk para pekerja yang tak tahu apa-apa –yang tidak terkena getahnya. Itulah kenapa, hari-hari setelahnya Randy jarang pulang. Dia mengungsikan diri; berlama-lama membaca buku di perpustakaan sekolah, bermain sepak bola di lapangan kampung, atau malah mengerjakan tugas sekolah di rumah Rindu. Apa pun akan dia lakukan supaya tidak melihat perang dunia ketiga yang meletus di rumahnya, setidaknya tidak secara langsung.

Randy terlalu menyesal. Bisa dibilang, selama bertahun-tahun ini dia hidup dalam rasa bersalah. Dan alasan dia tidak pernah datang atau sekadar berkabar dengan sang ibu sejauh ini bukanlah karena dia marah atau tak mau, justru sebaliknya, Randy tak pernah sanggup untuk melakukannya.

Randy menganggap dirinya terlalu kotor.

Toh, apa yang dikatakan Mardian ada benarnya, Randy tidak pantas menjadi anaknya.

Namun, semua anggapan itu terbukti salah malam itu. Lebih tepatnya, saat Randy melihat dengan mata kepala dari ‘arwahnya’ sendiri, bagaimana Mardian menangis tersedu-sedu di ruang tamu, sambil memanggil-manggil namanya.

“Ya Tuhan, anakku! Randy! Maafkan Mama, Sayang!”

Maria dan Dion berdiri, menyambut kedatangan Leon dan Raina yang menyusul di belakang Randy.

“Maaf, Kak, agak sulit nyari angkot malam-malam. Ini saja untung ada yang mau nganterin.”

Lihat selengkapnya