40 Hari Terakhir

Nandreans
Chapter #25

Sebuah Perpisahan

“Ibu yakin sudah nggak apa-apa?”

Meskipun dokter telah menyatakan kondisi Rindu sangat baik dan diperbolehkan pulang, namun Raina tidak berhenti menanyai ibunya dengan pertanyaan yang sama sejak pagi. Yang selalu dijawab oleh Rindu menggunakan anggukan tegas, lengkap beserta senyuman hangat yang menenangkan. “Memang mau berapa lama di rumah sakit? Ibu kangen rumah, Rain. Kangen ketemu nenek dan kakekmu. Kangen teman-teman. Kangen –”

“Ingat, Ibu belum boleh kerja lho ya!” Raina mewanti-wanti, sebab dia hafal sikap perempuan yang telah melahirkannya itu. “Nggak boleh ngapa-ngapain dulu. Istirahat. Rumah apa kata Raina. Paham?”

“Iya, Mbak Raina!” Tangan Rindu mengusap rambut keriting anaknya lembut. “Terus, kamu rencananya libur berapa hari? Kapan balik ke kerja?”

“Ini saja kita masih di rumah sakit Ibu sudah bahas begituan.” Raina berdecih sebal. “Yang penting sekarang Ibu sehat dulu. Nanti Raina bisa balik kapan-kapan. Memangnya Ibu nggak senang ada Raina di sini?”

“Bukan begitu, Nduk. Masalahnya, kamu kan ada kerjaan. Cuti terlalu lama kan nggak bagus juga, bisa dimarai Bos nanti kamu.”

Raina meletakkan tas yang baru saja dia isi dengan pakaian ke atas meja, lalu duduk di pinggiran ranjang sang ibu. “Bu, sebenarnya Raina berencana buat nggak balik lagi.”

“HEH?” Kening Rindu mengerut, tidak percaya.

Raina meremas kedua tangannya kuat-kuat, lalu menarik napas panjang. “Aku mau cari kerja di dekat-dekat sini saja. Biarlah walau gajinya kecil, yang penting aku dekat sama Ibu.”

“Jangan mikir begitu dong, Nak. Ibu nggak mau jadi beban kamu.”

“Ibu bukan beban,” sangkal Raina. “Justru aku takut Ibu kenapa-kenapa. Kita nggak tahu lho apa yang bakal dilakuin Bapak setelah ini. Pekerjaan di rumah juga banyak banget, Ibu pasti kalau ngerjain semuanya sendiri.”

“Anakku Raina, dengarin Ibu!” Rindu menengkup wajah putrinya, menatap matanya lekat-lekat. “Ibu nggak apa-apa. Ibu bisa. Toh, ada adik-adikmu yang jagain Ibu.

“Dan untuk Bapak, dia nggak akan bisa ngapa-ngapain Ibu. Bapakmu kan di penjara. Iya, kan?”

“Tetap saja, Bu. Kalau nanti dia bebas? Kita nggak ada yang tahu isi kepala Bapak.”

Rindu mengelus pipi kemerahan Raina dengan ibu jarinya. “Kamu nggak usah khawatir karena mulai sekarang Bapak nggak akan bisa nyakitin kita. Ibu sudah memutuskan untuk menggugat cerai bapakmu.”

“APA?” Mata Raina terbelalak, kaget. “Ibu serius?”

Dengan berat, Rindu mengangguk. “Maafkan Ibu ya, Sayang,” lengkap dengan air mata yang menetes, melewati pipinya yang dipenuhi garis kehidupan.

Bohong kalau selama dua puluh tahun bersama Rindu tidak pernah mencintai suaminya. Bagaimanapun juga mereka pernah merasakan pahit dan manisnya asam garam kehidupan, meskipun asam itu lebih banyak ditelan sendiri oleh Rindu. Namun, dia sadar betul bila semua yang menimpa keluarganya tidak sepenuhnya pantas ditanggung seorang diri oleh Siswoyo.

Rindulah yang membuat suaminya seperti itu. Andaikan dia punya cukup keberanian untuk jujur sedari awal, mungkin Siswoyo tidak akan terlalu terluka. Itu jugalah yang membuat Rindu bertahan, sebesar apa pun badai yang datang, Rindu berpikir suatu saat akan membaik. Toh, anak-anaknya masih terlalu belia. Apa jadinya bila mereka tidak punya ayah?

Hanya saja, melihat apa yang dilakukan Siswoyo padanya, bukan tak mungkin pria itu akan tega melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka. Rindu tidak mau terlambat. Apakah dia harus menunggu Rindu, Nasya, Andi dan Julian yang terluka baru berhenti? Rindu sudah lelah. Dia tidak mau berjudi dengan kehidupan.

“Ibu tahu ini nggak akan mudah tapi Ibu janji nggak akan membiarkan bapak kalian menyakiti keluarga kita lagi.”

Raina merasakan kedua matanya menghangat, kemudian balik menyentuh pipi ibunya. “Ibu nggak perlu minta maaf. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku bantuin Ibu untuk ngerawat adik-adik. Aku janji. Ya? Ibu nggak sendiri kok, ada Raina di sini.”

“Oh anakku!” Rindu menarik tubuh Raina dalam pelukannya.

Sementara di balik kelambu tipis rumah sakit berwarna biru yang memisahkannya dengan kedua wanita itu, Randy hanya bisa terdiam. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Walau sebetulnya dia pun lega karena Rindu akan melepaskan Siswoyo yang berengsek, akan tetapi dia paham betul kalau situasi ini tidak mudah diterima oleh keluarga kecil mereka.

Ingin rasanya Randy turut menghambur, memeluk dan menenangkan Raina. Namun, apa daya? Selain tidak bisa, Randy juga tidak siap.

Kedua tangan Randy mengepal, sementara kedua rahangnya tertutup rapat, kontras dengan air mata yang luruh membasahi wajahnya. Beruntung, dia tidak terlihat hingga orang-orang di ruang perawatan penuh pasien tak bisa melihatnya. Dia bebas menangis.

_*_

“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?”

Dokter ber-tag nama Yudistira itu dengan berat menjawab, “kondisi halusinasi yang dialami putri Anda semakin parah.”

“Apakah ini bisa memicu percobaan bunuh diri lagi,” kata wanita itu, “seperti yang dulu?” lanjutnya ragu-ragu.

“Itulah kenapa kita akan meningkatkan pengawasan. Namun, yang tak kalah harus kita cemaskan adalah kondisi kesehatan fisiknya. Dia sudah menolak makan selama berhari-hari.”

*_*

Mobil sewaan yang ditumpangi Raina dan ibunya sampai halaman, yang mana di sana sudah ada banyak tetangga menunggu kedatangan mereka.

Sebagai kasus yang menghebohkan, tentu langsung membuat Rindu dan keluarganya menjadi pusat perhatian di desa kecil tersebut. Malah, ada beberapa kenalan dari desa lain yang turut berkunjung, membuat rumah mungil mereka penuh orang.

Julian yang pada dasarnya belum begitu paham tampak sangat bahagia, berbeda dengan kakak-kakaknya. Bocah itu berlarian, bermain dengan anak-anak tetangga dan menikmati kue-kue yang mereka bawa sebagai buah tangan dengan riang sebab tidak setiap hari dia bisa makan-makanan enak.

“Kak, nanti kita beli lagi kayak gini ya?” ujar Julian sambil menunjukkan kue bolu pandan ke muka Raina.

Sang kakak yang saat itu sibuk membuat minuman hanya mengangguk sekadarnya, lalu berlalu menemui para tamu di teras. “Silakan diminum.”

Lihat selengkapnya