“Rain? Bagaimana?” Tanpa menunggu waktu lama, Randy langsung bertanya begitu Raina keluar dari pintu. Namun, saat menyaksikan raut kesedihan di wajah Raina, dia segera memberi wejangan, “Nggak apa-apa! Kita coba lagi season depan. Namanya juga baru pertama kali ikut kompetisi, kan?”
Tidak menjawab, Raina justru mempercepat langkah untuk keluar dari gedung, menemui Leon dan Lia yang sudah menunggunya di parkiran.
“Sayang?”
“Raina? Lancar, kan?”
Rasa penasaran kakak beradik itu terlihat jelas, tetapi sama seperti sebelumnya, Raina tidak menjawab. Gadis itu justru menghambur, memeluk keduanya erat sambil menangis. Lalu, menunjukkan selembar tiket yang sejak tadi dia simpan di tangan, yang entah bagaimana tidak Randy sadari keberadaannya.
“KAMU LOLOS?” Lia melotot, lalu merebut tiket itu untuk memastikan. “Ya Allah, Raina! Selamat, Dik!”
“Aku bangga banget sama kamu, Sayang!” Leon mencium kening gadis itu cepat.
Meski kesal, Randy yang melihatnya mencoba menahan diri. Dia justru tertawa, kemudian menutup mukanya dengan sebelah tangan. “Dasar bocah!” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. “Syukurlah. Terima kasih, Tuhan.”
*_*
“Pokoknya, kita harus merayakannya,” kata Lia penuh semangat. “Aku akan minta Mas Yunus buatkan kita makanan spesial untuk makan malam.”
Mendengar itu, Raina dan Leon saling melempar tatapan ngeri.
“Mending nggak usah deh, Mbak,” jawab Leon. “Bukannya aku nggak menghargai niat baik Mbak Lia, tapi kayaknya mending kita beli saja daripada Raina gagal masuk asrama gara-gara diare, kan nggak lucu.”
Lia tertawa, lalu menepuk lengan adik semata wayangnya cukup keras. “Nggak! Aku jamin dia nggak akan berani masak aneh-aneh.”
Melihat sepasang kakak beradik di hadapannya sontak membuat hati Raina hangat. Dia mungkin kehilangan kesempatan untuk dicintai oleh ayahnya sendiri, akan tetapi Tuhan menggantinya dengan cinta yang lain.
Hanya saja, lamunan Raina segera buyar saat Randy secara toba-tiba berteriak, memanggil dan memaksa gadis itu berbalik. “Apa sih ...,” ucapan Raina terjeda saat melihat mobil yang sangat dikenalinya berhenti di kejauhan, “Itu kan Kak Milly?” Dia menoleh, menatap mata Randy. “Ngapain dia di sini?”
“Jangan-jangan!” Mata Randy membulat, tanpa banyak bicara dan dengan tergesa-gesa dia menembus pagar besi pembatas parkiran, juga mobil-mobil yang berjajar rapi di sana, meninggalkan Raina yang kebingungan.
Gadis itu menoleh sebentar ke belakang guna memastikan apakah Leon dan kakaknya masih berada di sana, namun saat menyadari keduanya tak lagi terlihat, Raina pun memutuskan menyusul Randy. Sayangnya, karena dia manusia maka hal sama tidak bisa dia lakukan. Raina pun berjalan memutar guna menjangkau pintu besi pendek di ujung pagar, yang jaraknya lumayan jauh.
*_*
“Ini aku masih di perjalanan, sebentar lagi sampai di sana,” ujar Milly kepada orang di seberang telepon. Dengan tangan kanan memegang kemudi, dia tidak berhenti menatap layar ponsel pintar yang kini terhubung melalui panggilan video, menampilkan sosok Maria yang sedang menangis. “Kamu tunggu ya.”
“Aku benar-benar nggak tahu harus ngomong apa lagi, Kak Mill,” isak Maria. “Aku nggak nyangka kalau Joana bisa melakukan semua ini ke Kak Randy. Padahal selama ini aku pikir dia perempuan yang baik. Maksudku, kenapa? Oke lah kalau dia memang benci ke Kak Randy, tapi membuatnya sampai kecelakaan ..., ini perbuatan kriminal.”
Dua jam yang lalu, lebih tepatnya setelah dua hari lamanya melakukan pengintaian, Maria dan Dion pada akhirnya berhasil menemui Inara. Gadis cantik yang kini menjadi ibu dari dua orang anak tersebut telah lama meninggalkan dunia tarik suara, dan bekerja sebagai super visor di sebuah toko pakaian yang ada di salah satu pusat perbelanjaan.
Kalau saja bukan karena Milly, sudah pasti baik Maria maupun Dion tidak akan bisa mengenali Inara, sebab penampilannya sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu delapan tahun yang lalu. Kini dia lebih berisi, pun kini dia memakai kerudung.
Awalnya, Inara menolak bicara tetapi setelah diyakinkan, dia akhirnya bersedia memberikan keterangan. “Aku juga kaget waktu pertama kali membaca email itu. Karena sejujurnya, baik aku maupun Luna sudah nggak pernah ngobrol satu sama lain semenjak kompetisi berakhir.”
“Jadi, maksud lo, si Luna ini mendadak muncul lagi setelah sekian lama kalian nggak kontekan?” Maria mengangguk-anggukkan kepalanya, paham. “Kata Kak Milly, baik lo maupun Luna ini mantannya Kak Randy, benar?”
Inara mencengkeram segelas minuman rasa cokelat di tangannya, lalu mengangguk. “Siapa sih yang nggak suka sama Randy? Apalagi kami masih ABG saat itu.”
“Iya juga sih,” gumam Dion. “Apakah selama ini lo pernah dengar kabar mengenai si Luna ini dari orang lain? Kesibukannya, mungkin?”
Inara menggeleng. “Seperti yang gue bilang tadi, dia menghilang dan lenyap begitu saja. Bahkan dia juga nggak pernah datang di setiap acara reuni yang diadakan oleh anak-anak season 6.” Dia menyeruput minumannya. “Kami malah sempat berpikir kalau dia sudah nggak ada. Makanya, pas dia mendadak muncul dan bilang kalau dia tahu soal Randy ..., itu mengejutkan.”
Maria dan Dion saling pandang, putus asa.
“Bentar!” Inara merogoh tas jinjing ungu muda yang dia bawa, lalu mengeluarkan ponsel pintar berwarna senada dari sana. “Ini. Kalian bisa baca sendiri.”
Tanpa ragu, Maria langsung menerima benda kecil itu dan membaca apa yang tertulis di sana dengan saksama, di susul Dion yang ada di sebelahnya.
L1salilynda@xxx.com
Kamu dapat pesan itu?
Soal Randy.