444 km

Gya Daneo
Chapter #4

#4 Teriakan di Taman Bermain

Sorot lampu kafe di daerah Jakarta Selatan menyambutku yang ragu melangkah masuk. Kuraba dadaku sekali lagi, menyelipkan rambut ke belakang telinga. Sugesti atau bukan, aku seperti bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Ia semangat memompa darah ke seluruh tubuh, membuatku gerah.

Nyaliku menciut. Aku menelepon Maira untuk kesekian kali. Maira, please, angkat.

“Gya!”

Aku menyipitkan mata. Seseorang berlari dari arah parkiran dengan tergopoh-gopoh. Tangannya terus melambai melengkapi senyumannya yang kian lebar. Sampai tiba tubuh itu memelukku dan membuatku hampir kehilangan kendali berdiri. “Waw, aku kangen!” Katanya.

Sudut bibirku otomatis terangkat. Kuusap pelan punggungnya yang naik turun. “Kamu nggak jawab teleponku! Aku pikir kamu nggak jadi datang.”

Maira tertawa. “Sorry, sorry. Tadi aku lagi di jalan dan nggak tahu kalau kamu telepon.”

Diam-diam aku merasa sangat lega. Setidaknya, karena Maira benar-benar datang, aku masih punya alasan untuk ikut serta dalam pesta ulang tahun Lia malam ini, selain untuk melihat Rai. Ah, membayangkannya saja sudah membuat kepalaku berputar dan kakiku gemetar.

Rai, datanglah. Ada ruang yang butuh diisi penuh dengan melihatmu.

“Kalau tadi aku nggak ada kabar dalam sepuluh menit, kamu pasti pulang.”

“Aku butuh seseorang untuk tetap membuatku waras, Mai.”

“Ya, ya, sejak kapan juga kamu bisa waras soal semua hal yang berhubungan dengan Rai.”

Aku melotot ke arah Maira. Tenang sekali dia menyebutkan nama Rai dengan begitu lantang. Aku bisa pingsan kalau Rai sampai tahu semuanya.

Tetap tenang, Gya, maka ketenangan itu aku gambarkan dengan sebuah bentuk pasrah saat Maira menggandeng tanganku dan membawa tubuh kami memasuki kafe. Suara alunan musik akustik menyapa telingaku yang mungkin sudah memerah. Aku melirik cermin besar yang ada di dekat pintu masuk, memastikan sekali lagi kalau aku sudah layak untuk dipandang. Kembali bertemu dengan teman-teman SMA-ku setelah beberapa bulan ternyata bisa menimbulkan rasa antusias sekaligus gugup.

“Gya! Maira!”

Panggilan Chintya membawa langkah kami ke sebuah meja besar yang dikelilingi empat kursi super panjang yang disediakan Lia untuk tiga puluh tamu undangan.

Ada bertukar kabar, ungkapan kerinduan, dan sebuah pelukan.

“Bandung gimana, Mai?”

Chintya duduk di samping Maira sambil memainkan sedotan dalam gelas yang dipegangnya. Perempuan berambut keriting itu mendengarkan cerita tentang Bandung versi Maira dengan semangat sampai berulang kali berkata bahwa dia harus pergi ke Bandung secepatnya, yang mendapat tawaran tumpangan dari Maira karena Maira memang pulang pergi Bandung-Jakarta setidaknya dua minggu sekali untuk mengunjungi orang tuanya.

Selesai dengan cerita Maira, mata Chintya beralih menatapku. Bibirnya mengulas senyum.

“Gya, gimana kabar Cakra?”

Loh?

“Aku kira setelah tanya tentang Bandung ke Maira, kamu akan tanya tentang Jakarta ke aku. Kok, malah tanya tentang Cakra?”

“Untuk apa juga gue tanya tentang Jakarta kalau gue sama sekali nggak pernah pergi dari kota ini?”

Aku tersenyum kecut. Padahal saat Chintya mengulik tentang Bandung, aku sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan seputar Jakarta. Satu minggu ini hampir setiap hari Jakarta diguyur hujan, tapi rasanya tetap sumpek. Hujan dari langit ibu kota hanya menyisakan bau aspal basah. 

“Kalian masih berteman?” Chintya bertanya lagi dengan tidak sabar.

Tentu saja. Pertanyaan yang bisa kujawab cepat tanpa perlu mendapat kisi-kisi. Chintya memang salah satu teman SMA-ku yang tahu perihal Cakra. Tentang bagaimana laki-laki itu datang sampai berubahnya ruang chat menjadi ruang kelas di antara kami. Hanya Maira, Chintya, dan tiga teman baikku yang lain.

“Dia baik, Chin. Tinggi badannya lebih dari yang kukira.”

Senyumannya juga lebih manis dari yang kamu lihat di foto profilnya dulu. Eh, emmm---maksudku, dia lucu saat tersenyum langsung.

Chintya berbisik, sangat pelan sehingga perlu mencondongkan tubuhnya melewati Maira untuk mengikis jarak denganku. “Jadi, apa Rai masih juara satu?”

Aku berpikir sebentar. “Ya, dia masih juara bertahan.”

“Sampai kapan?”

Aku mengulum senyum. “Nggak tahu.”

Pertanyaan-pertanyaan sulit dari Chintya terjeda saat Lia yang menggunakan gaun selutut berwarna biru langit datang dengan wajah merona. Lia juga pernah menyukai Rai.

Lia menyapa kami satu per satu sembari mengucapkan terima kasih. Perempuan cantik itu duduk di ujung kursi sambil terus tersenyum selebar dua jari. Sudah ada dua puluh orang yang bergabung, tetapi Rai bukan salah satu di antaranya. Sesekali aku melirik ke arah pintu masuk, berharap dapat segera melihat hidung Rai yang bangir.

Beberapa menit setelahnya perayaan ulang tahun Lia dimulai dan berjalan dengan santai. Erik si mantan ketua kelas yang punya suara cempreng menjadi pembawa acara dadakan. Semua orang yang mengitari meja terus bersenda gurau, bernostalgia tentang kejadian masa-masa sekolah yang sebenarnya belum terlalu lama selesai. Kami baru resmi berpisah sekitar tujuh bulan yang lalu, yang berarti selama itu juga aku tidak diberkahi dengan kehadiran Rai, maka, Tuhan, tolong berkahi aku malam ini.

Aku melirik pintu masuk sekali lagi saat Maira berbisik. “Kalau dia nggak datang, gimana?”

Kukulum senyum untuk menanggapi pertanyaan Maira. Ya, bagaimana kalau Rai tidak datang? Padahal aku sudah membongkar isi lemari untuk menemukan pakaian terbaikku, juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton tutorial make up.

“Nggak apa-apa, toh, seenggaknya hari ini aku ketemu kamu.”

“Dan, ketemu Rai.”

Aku mengernyitkan kening yang ditanggapi Maira dengan menunjuk pintu masuk menggunakan dagu.

Dadaku berdebar. Rai benar-benar datang. Laki-laki itu berjalan sambil mengacak-acak rambutnya, seperti sebuah kebiasaan. Wangi parfumnya yang tidak berubah seraya menyapaku. Mengingatkan bahwa aromanya tetap menjadi favorit sejak pertama kali kami bertemu mata pada hari pertama orientasi sekolah.

“Maaf, maaf, gue ketiduran,” Rai berkata secepat kilat memotong protesan teman-teman yang lain. Laki-laki berkulit putih bersih itu menyapa setiap orang satu per satu, sampai tiba giliranku. Telapak tanganku yang dingin menyentuh telapak tangannya yang hangat. Beruntung sentuhannya terlalu singkat sehingga membuat Rai mungkin tidak menyadari betapa aku merasa gugup.

Kekehan suara Maira membawa kesadaranku kembali. “Ternyata dia ketiduran, seperti biasa.”

Keterlambatan Rai dengan alasan ketiduran menarik ingatanku kembali tentang bagaimana penampilannya yang berantakan dengan mata sayu saat memasuki ruang kelas. Dia berjalan terburu-buru dari gerbang masuk sehingga keringat membuat rambut depannya lepek. Dasinya terpasang berantakan, bahkan terkadang tali sepatunya tidak diikat dengan benar.

Namun, Rai tetap selalu terlihat memesona, membuat mataku tidak bisa beralih seperti saat ini, mengamatinya meneguk jus alpukat.

Alpukat itu buah kesukaan Cakra.

“Apa ini cukup?” Tanya Maira.

Aku menatap Maira yang tersenyum. “Ya, cukup.”

Melihat Rai selalu membuatku merasa cukup.

*****

Senyumanku menghilang bersamaan dengan tanganku yang memutar knop pintu, untuk mendapati mama dan bapak duduk berhadapan di ruang tamu. Dua pasang mata yang seperti mati itu menatapku bersamaan, yang kuartikan sebagai sebuah permintaan untuk bergabung.

Sejujurnya, aku rindu momen menonton acara lawak di televisi bersama pada malam hari setelah aku menyelesaikan pekerjaan rumahku. Berapa episode yang sudah kami lewatkan? Atau, apakah acara itu masih tayang? Ini sudah hampir dua tahun.

Aku sudah duduk dan berdeham saat bapak membuka pembicaraan.

“Kami sudah mengambil keputusan, Gya.”

Tidak, tolong jangan.

“Kami sepakat untuk berpisah.” Final. Suara bapak membuat kepalaku sedikit berputar. Aku menunduk dan menggigit bibirku sampai tercium bau karat. Kuhela napas dan kuremas tanganku yang gemetar.

“Ya, aku tahu,” dustaku.

Aku memang pernah menyangka, tetapi tidak pernah benar-benar tahu bahwa ini adalah jalan keluarnya.

“Kalian selalu tahu apa yang terbaik untuk kalian, jadi, lakukan saja. Aku tidak akan terpengaruh, hidupku akan terus berlanjut.”

Bohong. Bagaimana aku melanjutkan hidupku jika tidak kutemui keluargaku yang saling mencintai? Bagaimana aku melanjutkan hidupku jika aku harus berbagi cerita dua kali secara terpisah saat biasanya aku hanya perlu berada di tengah pelukan mereka? Bagaimana aku melanjutkan hidupku jika tidak ada lagi liburan menyenangkan bersama-sama? Dan, bagaimana aku melanjutkan hidupku jika nantinya masing-masing dari mereka menemukan keluarga baru?

Lihat selengkapnya