Jakarta, Oktober 2014.
Aku meneguk soda yang tersisa setengah kaleng. Enam halaman lagi buku di tanganku akan selesai kubaca. Itu berarti aku masih punya cukup waktu untuk tidur sebentar sebelum kelas pertama dimulai. Ah, ruangan ini terasa lebih dingin pada pagi hari, apalagi belum ada orang selain aku. Sudah dua bulan aku menghabiskan lebih dari setengah hariku di gedung tua ini. Namun, rasanya tetap belum terbiasa kecuali dengan pintunya yang berdecit ketika dibuka seperti sekarang.
Aku melirik ke arah pintu dan segera lanjut membaca saat tahu siapa yang datang.
Si singkong berjalan! Iya, karena tubuhnya tinggi dan dia selalu pakai jaket warna coklat. Mirip singkong panjang yang belum dikupas.
“Cakra, kamu harus minum air putih setiap pagi,” ucap Cakra dengan mengikuti gaya bicaraku. Dasar tukang sindir!
Laki-laki yang rambutnya berantakan itu mengambil tempat duduk di sampingku dan juga mengambil kaleng soda milikku dengan serampangan. Apalagi yang aku bisa lakukan selain pasrah, saat dia meneguknya sampai habis dalam satu tarikan napas.
“Selalu ngingetin untuk minum air putih, tapi lo sendiri yang minum soda sepagi ini. Kenapa? Lagi nggak bisa sendawa, kan, lo? Ngaku aja!”
Aku memilih diam. Ya, Tuhan, kenapa dia harus jadi orang kedua yang datang? Bacaanku bahkan belum selesai. Huft, Cakra adalah orang terhebat yang bisa maembuatku kehilangan konsentrasi saat membaca.
Tangannya yang besar itu menarik buku yang kupegang. “Gya, gue ini ngomong sama lo, bukan sama ubi rebus. Baca apa, sih? Habis gelap terbitlah terang lagi? Ini berarti kali kedua belas sejak lo pertama kali baca buku ini tahun lalu. Gue bener, kan?”
Aku meliriknya jutek dan mengambil alih buku milikku lagi. “Berisik banget, sih!”
“Yaudah gue diem, deh,” dia menyerah. Bagus!
Aku mengacungkan jempol dan melanjutkan bacaan. Apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tem—
“Gya,”
Apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok---
“Gya,”
Argh! “Kenapa lagi, sih?!”
"Galak banget lo pagi ini. Padahal gue cuma mau bilang kalau ubi rebus bisa bikin kentut.”
Emangnya kalau nggak makan ubi, nggak bisa kentut apa!
Aku menutup buku sambil merengut. Omongannya membuat surat indah milik Ibu Kartini berubah menjadi, apakah salahku sampai aku terkurung berdua dengan Cakra pada pagi yang harusnya damai ini. Sementara si perusak kedamaian cuma bisa menunjukkan rentetan giginya.
Kedamaian pagi hari sepertinya tidak bisa lagi aku harapkan, saat kudengar pintu kembali berdecit dan segerombolan orang yang berjumlah tujuh masuk ke dalam kelas. Suara bising AC yang sebelumnya terdengar jelas pun minder mendengar betapa berisiknya mereka.
“Wow, Gya! Pasti pagi ini lo pakai sepatu baru, kan? Kayak anak SD yang abis liburan sekolah. Makanya lo semangat berangkat dan nggak terlambat seperti biasa,” itu suara Iffah, perempuan super galak yang sebenarnya sangat perhatian.
Seperti biasa, dia bilang? Dalam seminggu aku hanya satu kali terlambat lima menit, sisanya memang terlambat lebih dari lima belas menit.
Aku baru akan menanggapi Iffah saat Zenia ikut berujar. “Harusnya yang lo tanya pertama kali, apa yang mereka lakukan sebelum kita datang? Pagi-pagi udah berduaan aja.”
Perkataan Zenia membuat tujuh orang itu menatapku dan Cakra dengan senyum meledek, yang justru membuat mereka terlihat sangat berpikiran mesum di mataku. Oh, bukan tujuh orang, tetapi delapan karena Cakra juga mengeluarkan senyum yang sama. Berani-beraninya!
Suara lain berasal dari Yoda, si gondrong yang sebenarnya terlihat menggemaskan seperti beruang. “Mereka nggak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh, karena Cakra pasti bisa nahan diri kalau lagi sama Gya. Bukan karena Cakra baik, tapi karena punya Gya kecil,” katanya.
Aku melotot dan mengambil ancang-ancang berdiri untuk memukul kepala Yoda, tetapi tertahan Rafiq yang bertanya dengan sok dramatis. “Wah, apanya yang kecil?”
“Keberaniannya, Fiq! Nggak usah berpikiran kotor, deh!” Jawab Yoda dan mereka langsung sibuk cekikikan.
Detik berikutnya aku benar-benar memukul kening dua orang itu sampai mereka meringis.
“Besok kalian ikut aku ke pasar hewan, ya! Kita beli otak di sana. Nggak apa-apa, kok, pakai otak hewan, yang penting kalian punya,” kataku berusaha tetap terdengar baik.
Cakra ikut menambahkan. “Makanya otak yang dikasih Allah itu dipakai, jangan lo pada jadiin tempat nyimpen obat.”
Hah?
Oh, otak p3k.
Suara-suara tertawa masih terdengar sampai Gian pada akhirnya bersuara. “Eh, udah, jangan ganggu Gya lagi. Dia kalau beneran marah bisa renovasi ini gedung sendirian.”
“Wah, bagus dong! Ayo bikin Gya marah setiap hari sampai semua bangunan di dunia ini jadi baru.” Sahut Zenia dan mereka kembali tertawa keras sambil mengambil posisi duduk masing-masing.
“Dasar gila kalian!” Teriakku putus asa.
Pagi-pagi sudah dibuat emosi!
Hm, tetapi kurasa kalian tidak perlu mendengar ocehanku. Jadi, mari kuperkenalkan saja mereka. Delapan orang teman yang terkadang membuatku berpikir, bahwa mungkin di kehidupan sebelumnya aku adalah seorang putri kerajaan. Namun, aku memilih kabur dari istana karena ikan cupang peliharaanku hilang. Bisa jadi berteman dengan mereka merupakan sebuah hukuman.
Hei, aku tidak serius. Maksudku, mereka memang menyebalkan setiap hari dan membuatku ingin memasukkan mereka ke dalam brazen bull lalu menyalakan lilin di bawahnya. Namun, kenyataannya, berada di antara mereka membuatku merasa sangat beruntung. Bagaimana tidak, aku dikelilingi manusia dengan tingkah ajaib masing-masing (Meskipun kuakui bahwa Cakra tetap menjadi yang paling ajaib).
Pada saat aku merasa terjebak warna abu-abu, masing-masing mereka membawa warnanya sendiri ke dalam kehidupanku.
Mari kita mulai dari yang pertama. Kami punya Yoda, yang meskipun tidak seimut baby yoda di serial Disney, dia tetap lucu dengan perkataan dan perbuatannya yang selalu sukses membuat kami terpingkal-pingkal. Yoda seperti beruang besar yang nyaman untuk dipeluk. Di antara semua laki-laki angkatan kami, hanya dia yang membuat siapa saja ingin memeluknya karena dia memang semenggemaskan itu!
Kalau lelucon dari Yoda saja sudah bisa membuat kami terpingkal-pingkal, maka kami bisa tertawa sampai menangis saat dia dipersatukan dengan Rafiq. Rafiq menjadi laki-laki dengan tubuh paling kecil di antara tiga laki-laki lainnya dan juga paling lincah sampai sering membuat kacamatanya sendiri patah. Namun, kamu bisa menemukan sisi lain Rafiq saat dia sudah memposisikan diri menjadi pendengar yang baik. Kata-kata sarkas yang biasa keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kata-kata yang terdengar bijaksana. Aku jelas tahu betul karena kepadanya aku sering mengeluarkan keluh kesah.
Saat Yoda dan Rafiq terlalu berisik, satu-satunya yang bisa membuat mereka langsung diam adalah teriakan Iffah. Perempuan yang terlihat galak karena hampir setiap saat keningnya berkerut. Meskipun begitu aku bisa menjamin hatinya merupakan yang paling lembut di antara kami, terbukti dari caranya menyayangi orang-orang di sekitar dan air matanya yang sering keluar. Perempuan lain yang seperti kembar dengan Iffah adalah Afia. Di mana ada Iffah, di tempat itu pula akan kamu dapati Afia dengan senyumannya yang selalu membuat orang lain ikut tersenyum. Afia si perempuan cantik yang sangat menyukai laki-laki berseragam.
Kami juga punya Zenia, penyanyi dengan banyak pengalaman panggungnya. Suaranya merdu sekali, terdengar menenangkan. Namun, jangan bayangkan dia adalah perempuan yang anggun dan lemah lembut. Zenia merupakan perempuan yang sama sekali tidak bisa ditebak. Mulai dari mendadak cosplay menjadi presenter acara berburu hantu, sampai tiba-tiba menirukan sesuatu.
Nah, kalau dua orang ini harus diperkenalkan secara bersamaan. Ada Gian dan Ciara, salah satu pasangan yang terlihat paling hangat di angkatan kami. Mereka memang baru satu bulan lalu menjalin hubungan, tetapi aku yakin mereka akan terus bersama-sama untuk waktu yang lama. Seperti mie instan dan telor, mereka merupakan perpaduan yang pas. Gian dengan pembawaannya yang tenang dan sangat sabar, Ciara yang peduli dan keibuan.
Terakhir yang akan aku perkenalkan adalah Cakra.
Jika aku bertemu tujuh orang lainnya untuk pertama kali pada dua bulan yang lalu, maka aku sudah menemukan Cakra jauh sebelum itu. Kedatangannya terlalu mendadak dan unik. Cakra Dewandaru, seorang laki-laki yang datang dari kota seberang, Kebumen, yang katanya sangat indah. Dua tahun lalu, dia muncul pertama kali dalam bentuk notifikasi di ponselku. Menyapaku dengan sangat berani dan tidak tahu malu. Aku pikir, obrolan kami malam itu akan berhenti beberapa jam setelahnya. Namun, semesta seperti sedang menunjukkan bahwa semua yang terlihat tidak disengaja, justru sudah diatur sedemikian rupa.
“Semalem lo tidur di mana?”
Itu suara Cakra. Dia menggeser kursinya untuk lebih dekat denganku.
“Di rumah Ana atau sekretariat PMPA?” Tanyanya lagi.
Sekadar informasi, Ana adalah sepupuku dan PMPA adalah organisasi tingkat universitas yang aku ikuti, Perkumpulan Mahasiswa Pencinta Anak. Aku belum menjawab, memilih memerhatikan Cakra yang sedang mengambil botol minum kosong dari samping tasku dan mengisinya dengan air dari botol miliknya.
“Gya, i ask you,” suaranya lebih dalam.
Aku menghela napas. “Rumah Ana.”
Cakra mengangguk puas dan mengembalikan botol minum milikku yang sudah dia isi setengah ke tempatnya semula. Dia terlalu mengenalku dengan baik. Dia tahu aku tidak pulang ke rumah hanya karena aku masih membawa botol minum kosong yang kemarin. Berganti botol minum dan selalu membawanya dengan isi yang penuh memang kebiasaanku.
Bagaimana bisa, dia datang dan menjadi orang yang sepertinya paling memahamiku saat aku tidak bisa memahami diriku sendiri?
------
Jakarta, Awal bulan September 2012.
Aku menghela napas dan menutup pintu kamar dengan kasar. Telingaku mungkin sudah memerah karena terlalu banyak mendengar teriakan seperti biasanya. Beruntungnya malam ini bapak memilih mengalah dan memutuskan untuk keluar dari rumah sampai keadaannya sedikit lebih tenang.
Aku menjatuhkan diri di atas kasur dan melirik adikku yang sudah tertidur sejak dua jam lalu padahal sekarang baru pukul 20.00
Tring!
Ponselku mendapatkan notifikasi. Aku meraihnya dengan malas dan mendapati received invitations baru di blackberry messengerku. Siapa ini? Apa aku mengenalnya? Hm... tetapi, baiklah, mari kita coba untuk menerimanya. Mungkin aku memang kenal atau dia punya sesuatu yang ingin disampaikan.
Hanya beberapa menit setelah aku memilih accept, pesan darinya aku terima.
“Hai, ini Gya, ya?”
Keningku pasti berkerut saat ini. Siapa dia? Sepertinya aku betul-betul tidak mengenalnya.
“Ya, betul. Ini siapa?”
“Aku Cakra. Cakra Dewandaru.”
”Oh, dapat pin bbmku dari mana?”
“Profil facebookmu.”
Ctik! Bodoh kamu, Gya! Buat apa juga mencantumkan pin bbm di facebook? Aku harus segera menghapusnya.
“Aku lihat alamat rumahmu di Jakarta Timur. Nenekku juga tinggal di sana, mungkin kamu kenal?”
Hah?
”Aku tinggal di Kebumen, kalau kamu mau tahu."
Tidak, aku tidak mau tahu! Sok kenal sekali orang ini! Apa dia penipu? Haruskah aku tutup akun facebook milikku untuk menghindari orang-orang seperti dia? Sebetulnya, Gya, menggunakan facebook akan tetap baik-baik saja kalau kamu tidak punya ide menaruh pin bbmmu di sana!
“Oh, begitu, ya.”
“Iya, jadi kamu kenal nenekku atau nggak?”
“Nggak.”
Dia pikir Jakarta Timur sekecil itu?
“Kenapa langsung bilang nggak? Aku aja belum nyebutin nama nenekku dan ciri-cirinya.”
Argh! Dasar orang gila! Jelas-jelas dia bertanya kenal atau tidak, berarti bukan salahku kalau aku langsung menjawab tidak. Toh, pilihanku hanya ada dua. Ya atau tidak.
Aku memilih menyimpan ponselku dan tidak membalas pesan terakhirnya. Kenapa di dunia ini ada manusia seperti dia? Satu-satunya yang aku pikirkan saat ini bahwa dia adalah seorang penipu yang mungkin pada akhirnya nanti akan minta dibelikan pulsa. Apa aku harus menjawab pesannya dan saat dia sudah terlihat menjalankan aksi menipunya, aku bisa langsung melaporkannya.
Ide bagus!
Aku segera mengambil ponselku yang sejak tadi belum berhenti berbunyi.
”Gya, kenapa nggak dibalas?”
“Gya, hallo. Aku bukan penipu. Pulsaku ada banyak.”
Eh? Bagaimana dia bisa tahu isi pikiranku?
“Oke, oke, aku nggak akan tanya-tanya tentang nenekku lagi. Kalau kamu nggak kenal, biar nanti aku yang perkenalkan kalian berdua secara langsung.”
Ngaco!
“Rumah nenekku di belakang SMA Sinar Asih. Apa kami bisa jalan kaki atau harus naik kendaraan kalau mau ke rumahmu nanti?”
Benar-benar ngaco, dan nyeremin!
“Gya? Kamu udah tidur?”
Aku masih belum membalas apapun. Terlalu bingung dengan manusia satu ini.
“Kamu kelihatan nggak nyaman. Yaudah, deh, aku ngaku apa tujuanku sebenarnya. Jadi, aku lagi patah hati karena perempuan yang aku suka di sekolah kelihatannya dekat dengan laki-laki lain. Beberapa menit lalu aku buka facebook dan justru lihat profilmu tanpa aku sengaja. Serius, aku nggak bohong! Terus kupikir aku bisa curhat sama kamu tentang ini, karena aku terlalu malu curhat ke teman-teman deketku di sini.”
Hah?
“Gya, kita bisa jadi teman curhat?”
“Oh, bukan, maksudku, kita bisa jadi teman?”
Benar-benar nggak waras!
------
“Pagi, Gya. Hari ini sekolah lo jadi UTS nggak?”
“Iya, jadi.”
“Oh, kirain nggak jadi UTS karena udah maju ke depan, jadi nggak di tengah lagi.”
Apasih! Manusia ini, ada saja kelakuannya yang bikin emosi. “Please, ini masih pagi. Simpen dulu ke-nggak-jelasan kamu itu.”
“Hehe, yaudah, semangat UTS, Gya!”
“Iya, makasih Cakra. Kamu juga semangat sekolahnya.”