Aku melangkah dengan santai menuju ruang kelas pagi ini. Proses belajar memang seharusnya sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu, tetapi dosenku tidak hadir dan tidak ada dosen pengganti. Kami hanya diminta untuk absen dan mengumpulkan tugas pertemuan sebelumnya. Itu berarti aku berani menjamin bahwa ruangan dengan luas kira-kira 150 meter tersebut sedang berisik bukan main.
Suara pintu yang aku dorong berhasil membuatku menjadi pusat perhatian selama beberapa detik. Semua orang di dalam kelas menghentikan aktivitasnya dan menoleh secara bersamaan, mungkin takut kalau dosenku datang secara tiba-tiba. Ketika mereka sudah memastikan bahwa yang berdiri di pintu hanyalah seorang Gya yang memang hobi terlambat, mereka kembali melanjutkan kegiatan masing-masing yang sempat tertunda. Ada yang tidur dengan berbagai macam gaya, ada yang melindungi telinga menggunakan headset sambil menggerakkan kepala (entah mengikuti alunan musik atau memang mengantuk), ada juga yang sekadar berbicara dan bercanda.
Namun, dari puluhan orang di dalam ruangan itu, yang membuatku tidak habis pikir adalah delapan orang yang sedang duduk membentuk lingkaran di belakang sayap kanan. Kursi-kursi yang seharusnya ada di sana juga sudah ditumpuk demi mendapatkan ruang yang cukup. Aku melangkah mendekat dan bingung mendapati wajah serius teman-temanku. Tidak biasanya.
Setelah menaruh tas milikku sembarangan, aku duduk di luar lingkaran. Rafiq menjadi orang pertama yang menyadari kehadiranku. Dia segera menggeser posisi duduknya dan memberiku ruang untuk ikut bergabung. Aku memerhatikan wajah mereka satu per satu karena belum ada yang berbicara. Mereka tetap diam dan terlihat tetap serius berpikir, seperti sedang menyusun strategi untuk menghadapi kesebelasan nankatsu.
Oh, ada yang perlu diralat. Sebelum aku bergabung, lingkaran ini hanya diisi tujuh anggota karena Zenia sedang berdiri di pojok ruangan yang tidak jauh dari kami, sendirian. Kepalanya bergerak pelan-pelan ke kanan dan ke kiri seperti sedang memerhatikan sekitar dengan gerakan seperti itu yang terus berulang.
“Zenia lagi apa, sih?” Tanyaku memulai percakapan.
Tidak ada yang menjawab.
Apa yang salah dengan teman-temanku? Apa mereka lupa caranya berbicara?
Hei, jangan kira aku bercanda mengatakannya. Aku serius berpikir seperti ini karena teman-temanku memang sering melupakan sesuatu yang membuatku bingung sekaligus takjub. Rafiq pernah tiba-tiba jatuh saat kami sedang menuju kantin karena katanya dia lupa cara berjalan. Afia yang sedang tertawa mendadak sesak karena dia lupa cara bernapas, sehingga kami secara bergantian harus mengajarinya tarik-buang-tarik-buang udara.
“Zen, kamu ngapain berdiri di sana?” Aku kembali bertanya dan hampir putus asa.
Zenia menggerakkan jari telunjuknya, memberikan isyarat kepadaku untuk diam. Apa yang salah?
“Jangan ajak gue ngomong, Gya. Gue lagi jadi cctv.”
Ya, Tuhan, terimakasih, aku langsung mendapatkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Jelas yang paling salah adalah otaknya.
Aku menghela napas, menyerah menghadapi kelakuan Zenia dan teman-temanku yang lain, tentu saja.
Rencanaku untuk mengeluarkan ponsel gagal karena tiba-tiba Yoda mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat kami semua menoleh ke arahnya. “Kenapa kita masih diem? Kan, udah ada yang kalah?”
Semua mata serempak menatap ke arahku. Mereka terlihat seperti zombie yang menemukan targetnya.
“Kenapa?” Tanyaku ketus. Aku yakin ini adalah pertanda buruk.
Iffah menunjuk wajahku. “Lo kalah!”
“Heh? Kok aku? Aku nggak tahu apa-apa!” Sergahku tidak terima. Lagi pula, siapa yang bisa terima jika kamu mendadak ditunjuk kalah dalam permainan yang bahkan tidak kamu ketahui.
“Orang di dalem lingkaran yang pertama kali bersuara itu kalah. Hukumannya harus ke kantin beliin titipan makanan yang lain.” Jelas Afia sambil menunjukkan cengiran kudanya yang sebenarnya lucu.
Aku melotot. “Apa-apaan? Aku aja nggak tahu kalian lagi apa. Masa tiba-tiba aku kalah dan harus beliin titipan kalian semua?”
Mereka kompak mengangguk.
“Dasar temen-temen nggak punya hati! Curang! Aku nggak mau!” Kataku final dan tidak mau kalah.
“Kan, emang yang punya hati untuk lo, cuma Cakra.”
Celetukan Ciara sukses membuat yang lain bertepuk tangan sambil bersorak setuju, termasuk Zenia yang sekarang sudah bergabung bersama lingkaran setan ini. Sementara Cakra hanya tertawa dan menggaruk tengkuknya.
“Kamu udah selesai jadi cctv, Zen?” Tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Zenia mengangguk. “Kalian mau tahu nggak hal paling menarik yang gue dapetin selama cosplay tadi?”
“Apa?” Tanya Cakra dan Yoda bersamaan.
Kami semua diam, menunggu jawaban Zenia dengan seksama.
“Cakra dan Gya sering curi-curi pandang satu sama lain!”
“Ngaco!” Teriakku tidak terima, tetapi mereka terlihat tidak peduli dan justru terus menggoda kami.
Aku menoleh ke arah Cakra yang hanya mengangkat bahu tanda pasrah, tidak mau memberikan pembelaan. Dasar payah!
-----
Aku terus cemberut sepanjang perjalanan ke kantin. Mereka benar-benar menjadikanku tukang delivery makanan. Awalnya aku tetap menolak dengan keras. Tidak peduli pada ocehan mereka tentang sportivitas.
“Sportivitas palamu!” Sahutku pada Yoda yang terus memaksaku untuk menjalankan hukumannya.
Dasar licik mereka!
“Lebih baik aku bantuin sangkuriang bikin perahu dari pada ke kantin sendirian!”
Ya, aku tidak mau! Tetap tidak mau apapun jurus rayuan yang mereka keluarkan! Aku masih belum terbiasa ke kantin sendirian apalagi nantinya harus membawa banyak makanan. Jahat sekali mereka!
Namun, pada akhirnya Gya si keras kepala menyerah saat Cakra menawarkan diri untuk menemani. Eum, maksudku, sebenarnya bukan karena Cakra. Aku akan tetap menerima siapapun yang menawarkan bantuan ini. Hanya saja, memang kebetulan Cakra yang mengajukan diri.
“Lo udah nyiapin apa aja buat acara PKMP nanti?” Tanya Cakra.
Aku terkesiap dan menoleh ke arahnya. Tubuhnya yang tinggi membuatku harus mendongak saat kami berbicara.
“Lo pasti lupa kalau lusa kita berangkat PKMP.”
Aku mengangguk. Bisa-bisanya aku lupa kegiatan pelatihan kepemimpinan mahasiswa tingkat jurusan, yang akan dilaksanakan di Puncak Bogor.
“Belajar untuk berhenti jadi orang pelupa dan ceroboh, Gya.”
Aku menunjukkan wajah protes. “Seenggaknya aku nggak pernah lupa cara jalan atau napas.”
Cakra tertawa kecil. “Belajar juga untuk berhenti jadi orang yang nggak mau kalah.”
“Iya, nanti, kalau hulk pakai kolor motif bunga-bunga,” sahutku asal.
Cakra tertawa lagi, tetapi tidak bertahan lama karena tawa dan langkahnya mendadak terhenti. Aku mengikuti arah pandangannya dan menemukan tiga orang perempuan yang sedang duduk di bangku panjang, di bawah pohon depan gedung fakultas.
“Kenapa, Cak?” Tanyaku.
Cakra seperti tersadar dan membisikkan sesuatu.
“Lo lihat perempuan yang pakai tas warna biru itu? Namanya Jasmine, dia anak kelas B, seangkatan sama kita, dan, Gya, kayaknya gue naksir dia.”
Aku terdiam selama beberapa detik sampai akhirnya merespon. “Wow.”
Sebelum kami kembali melanjutkan langkah, aku melirik ke arah Jasmine sekali lagi. Perempuan cantik itu bahkan tidak melakukan apapun, tetapi kenapa aku merasa tidak nyaman saat melihatnya?
-----
Aku berjalan menuju barisan kelompokku dan menaruh ranselku ke lantai dengan hati-hati. Kami sedang duduk berbaris di lobi gedung fakultas sebagai bentuk persiapan sebelum beberapa jam lagi melakukan perjalanan ke puncak Bogor.
Setelah sedikit berbincang dengan teman sekelompok yang duduk di depanku (karena aku memang duduk di baris paling belakang), aku mulai menoleh ke sana ke mari mencari kedelapan teman ajaibku. Sayang sekali tidak satu pun dari mereka ada di kelompok yang sama denganku. Hal itu sempat membuatku khawatir. Aku takut kesulitan untuk bergabung dengan orang-orang yang tidak terlalu aku kenal, bahkan ada yang tidak aku kenal sama sekali.
Ya, aku memang benar-benar sesulit itu memulai hubungan pertemanan.
Aku masih mencari mereka, dan beruntungnya, sedikitnya laki-laki di jurusan kami dapat membuatku dengan mudah menemukan Cakra, Yoda, Rafiq, dan Gian. Mereka tentu menjadi ketua kelompoknya masing-masing dan duduk di barisan paling depan. Sementara teman-teman perempuanku belum aku temukan keberadaannya.
“Perhatian, untuk bahan makanan yang wajib dibawa, harap dikumpulkan kepada fasilitator masing-masing kelompok. Mungkin untuk kelompok bisa membantu untuk mengkoordinir pengumpulannya.”
Penjelasan dari salah satu kakak panitia membuat suasana seketika gaduh. Aku ikut membuka ranselku dan mengeluarkan plastik khusus berisi makanan seperti beras, mie instan, telur, dan susu. Oh, telur titipan Cakra belum sempat aku berikan.
Aku melambaikan tangan pada Cakra yang terlihat celingukan. Laki-laki itu berjalan ke arahku dengan langkah kakinya yang lebar-lebar. Beberapa jam lalu, dia menelepon dan minta tolong untuk dibawakan telur karena lupa membelinya. Namun, alasan itu berubah saat aku sempat mengatakan tidak. Mendadak dia bilang bahwa ayam-ayam di sekitar rumahnya sedang dalam keadaan tidak subur dan malas bereproduksi.
Bukan Cakra namanya kalau tidak bisa membuat Gya menyerah meskipun dengan alasan yang sangat konyol.
Aku cemberut saat dia sudah berdiri di sampingku.
“Waw, Gya emang yang terbaik. Thank you.”
Aku tidak menjawab.
“Gya jangan cemberut dong. Harusnya lo bersyukur karena ayam-ayam di sekitar rumah lo subur dan semangat bereproduksi, nggak kayak ayam di sekitar rumah gue.”
“Ayam di sekitar rumah kamu kebanyakan yang janda kali.”
Cakra tertawa dan mengangkat jari telunjuknya dengan semangat. “Itu! Itu salah satu alasannya. Gya emang cerdas.”
“Udah, sana balik. Kasian kelompok kamu, tuh, kewalahan,” kataku sambil mendorong tubuh tingginya.
“Iya, iya. Eh, inget, jangan jauh-jauh dari temen kelompok lo. Jangan ceroboh. Hafalin nama dan muka mereka.”
Aku hanya mengangguk patuh.
Cakra pada akhirnya pergi setelah mencolek Bella yang berada tepat di depanku. “Bel, titip Gya, ya. Dia ini sebenernya musuh naruto. Takut tiba-tiba ketangkep dan hilang.”
Bella yang tidak paham hanya bisa mengangguk dan kembali mengangguk saat aku ikut bicara. “Nggak usah didengerin, ya, Bel.”