444 km

Gya Daneo
Chapter #3

#3 Pentas Seni

Minggu pertama bulan Desember 2014.

Aku melirik jam di dinding sekretariat yang menunjukkan pukul empat sore. Sudah hampir dua jam aku di sini untuk membantu persiapan acara sejak kelas terakhirku selesai. Kurang dari satu bulan lagi organisasiku akan melaksanakan kegiatan perlombaan anak usia dini. Sebagai salah satu anggota organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan anak usia dini, aku mulai terbiasa menghadapi anak-anak di dalam kelas. Meskipun kami harus menempuh lokasi mengajar yang cukup jauh dan rumit, perasaan hangat saat melihat senyuman anak-anak dapat membayar semuanya. Aku semakin yakin bahwa Tuhan memasukkan ramuan penyembuh saat menciptakan senyuman semua anak-anak di dunia.

Panggilan masuk membuat ponselku berdering, memunculkan nama Cakra di layar. Tanpa menerima panggilannya, aku berdiri dan menggendong ranselku.

“Gya, udah dijemput pacarnya di depan, tuh.”

Celetukan salah satu kakak senior yang baru masuk ke dalam ruangan disambut siulan dan suara-suara lainnya. Semua orang di sini menggodaku, membuatku baru berhasil keluar dari ruangan itu beberapa menit kemudian.

Kudapati Cakra yang duduk di depan gedung, membelakangi posisiku berdiri. Mengingat organisasi yang aku ikuti ini merupakan organisasi tingkat universitas, maka ruangan sekretariatku berada di gedung khusus organisasi serupa. Sehingga Cakra ada di sini untuk menuju gedung fakultas bersamaku karena kami ada latihan untuk pentas seni.

“Hei.”

Cakra menoleh dan tersenyum seperti biasa, dengan senyumannya yang biasa terlihat manis juga.

“Udah?”

Aku mengangguk bersamaan dengan Cakra yang melanjutkan pertanyaannya. “Udah selesai digodainnya?”

“Digodain apa?”

“Digodain kalau lo dijemput pacar,” jawabnya sambil tertawa. Tanpa menunggu jawabanku, dia berjalan mendahului setelah mengambil alih map biru milikku. Langkah kakinya yang besar-besar selalu membuatku kesulitan untuk mengejarnya.

“Kamu dengar?”

“Ya, karena suara mereka terlalu keras untuk disebut menginterogasi suatu rahasia.”

Aku tertawa pelan dan mengangguk setuju. Orang-orang di dalam sekretariat tadi sempat membuatku kewalahan karena mereka terlihat sangat antusias. Bahkan Lita sempat menghadang jalanku. Apa juga yang membuat ini terlihat menarik untuk mereka?

“Lo jawab apa tadi?” Cakra bertanya lagi.

 Aku melirik dan mendapatinya sedang menatapku, menunggu jawaban.

“Kamu bukan pacarku. Kita sahabat, teman baik.”

“Kenapa harus dijawab? Seharusnya lo nggak perlu menjawab apapun.”

Keningku berkerut. “Kenapa juga harus nggak dijawab?”

“Karena kita nggak punya kewajiban untuk menjawab semua pertanyaan, Gya.”

“Aku bukan menjawab pertanyaan, aku cuma mengklarifikasi.”

Cakra berhenti memainkan ritsleting yang ada di mapku. “Supaya ketua yang mau lo deketin itu nggak salah paham?”

Aku menghentikan langkah. Kenapa Cakra memikirkan hal yang bahkan tidak aku pikirkan sama sekali? Kenapa juga dia terlihat sangat mempermasalahkan semua godaan-godaan yang aku terima?

Menyadari aku yang tidak lagi berjalan di sampingnya dan tertinggal beberapa meter, langkah Cakra berhenti dan dia membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.

“Dia nggak ada di dalam ruangan tadi, dan, Cakra, aku nggak pernah bilang kalau aku mau deketin dia. Aku cuma kagum,” kataku serius. Cakra tidak bisa seenaknya membuat kesimpulan tentang perasaanku.

Laki-laki dengan kemeja biru muda itu tersenyum tipis, tanda kalau dia tidak sedang bercanda. “Bagus, jangan pernah berpikiran untuk deketin siapapun sebelum gue kasih izin.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Karena lo nggak boleh deket dengan sembarangan orang, Gya. Lo itu buas, gue harus memastikan kalau dia bisa menjinakkan kebuasan lo. Kan, kasihan kalau dia digigit tiba-tiba.”

Senyuman tipis tadi digantikan dengan tawa jahil. Lantas dia melanjutkan langkahnya, meninggalkanku.

Ternyata dia hanya bercanda. Aku bebas mendekati siapapun.

“Gya, ayo!”

Aku menyusul Cakra dan kami kembali jalan berdampingan menuju gedung fakultas. Jarak antara gedung organisasi dan gedung fakultasku memang cukup jauh. Kami harus melewati lapangan utama kampus dan lapangan futsal yang saat ini sedang ramai. Teriakan penonton di pinggir lapangan membuat suasana terasa riuh. Semua orang terlihat bahagia di tengah keramaian, mereka terlihat baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu bahwa ada di antara mereka yang sebenarnya sedang merasa kesepian? Karena aku sering merasakan hal serupa.

Cakra menepuk bahuku. “Lo belum pernah lihat gue main futsal, ya, Gya?”

Aku hanya mengangguk. Suara teriakan penonton futsal mulai menjauh seiring langkah kami yang semakin dekat dengan gedung fakultas.

“Bagus, deh.”

“Kenapa?”

“Gue ini tiga kali lipat lebih ganteng kalau lagi main futsal, loh, Gya. Jadi, bisa bahaya kalau lo lihat dan jatuh cinta ke gue.”

Jatuh cinta kepada Cakra? Bahkan aku tidak pernah memikirkan itu sama sekali, meskipun Ana berulang kali berkata, Level tertinggi menyayangi teman lawan jenis itu saat kita sadar kalau kita sayang, tapi kita nggak mau memulai hubungan yang lebih dari pertemanan karena takut gagal yang berujung kehilangan, dan, itu perasaan lo ke Cakra. Saat itu aku tidak bisa menjawab apa-apa. Pun dengan saat ini, aku hanya tahu bahwa aku ingin Cakra mendapatkan semua hal baik dari dunia.

“Aku lebih suka lihat laki-laki yang lagi serius baca buku,” sahutku asal.

“Pengecualian untuk gue, karena lo selalu suka lihat apapun yang gue lakukan. Iya, kan?”

Aku meliriknya sebal dan dia tertawa melihat responku.

Kami memasuki gedung fakultas yang sudah tidak terlalu ramai karena umumnya pembelajaran selesai sebelum pukul empat sore. Itu sebabnya teman-teman sekelas kami sepakat untuk memakai ruangan yang sudah kosong dengan meminta izin kepada penjaga gedung. Aku dan Cakra mulai menaiki satu per satu anak tangga untuk menuju lantai tiga. Kekehan Cakra terdengar saat melihatku yang kelelahan dan mulai kesulitan mengatur napas.

“Makanya, nek, olah raga,” komentar Cakra.

“Ini, tuh, karena udah sore. Aku capek,”

Cakra menghentikan langkahnya dan menatapku dengan pandangan menyelidik. “Lo belum makan, ya?”

Aku mengangguk.

“Dari pagi?”

Aku mengangguk lagi.

“Lo puasa?”

Kali ini aku menggeleng.

“Kebiasaan.”

Dia melanjutkan langkahnya meninggalkanku yang hanya mengangkat bahu. Aku memang memiliki masalah nafsu makan dan sering tidak bisa makan lebih dari satu kali dalam sehari. Terkadang saat aku berusaha memaksakan diri, aku akan berakhir dengan muntah-muntah. Nafsu makanku juga hilang saat aku makan sendirian. Maka, saat aku di rumah, aku bisa saja tidak makan sama sekali karena tidak ada yang menemani. Berulang kali teman-temanku menyarankan untuk pergi ke dokter yang hanya aku jawab iya tanpa pernah benar-benar pergi sama sekali.

"Zenia, minggir, gue dan Gya mau masuk!”

Aku sudah sampai di depan ruangan dan mendapati Cakra sedang berbicara kepada Zenia yang berdiri membelakangi kami di tengah pintu. Perempuan yang rambutnya dikuncir kuda itu tidak menjawab apapun. Dia tetap merentangkan tangannya, seperti menghadang kami untuk masuk.

Cakra mendengus kesal. “Zen, lo lagi apa, sih?” tanyanya.

“Zen, banyak yang mau masuk juga,” kataku saat beberapa teman kelasku yang lain terlihat sedang berjalan di koridor.

“Aduh, sabar, dong. Sayap gue nyangkut, nih,” katanya tanpa menoleh dan tetap membelakangi kami.

Jawaban Zenia membuatku memandang Cakra yang menghela napas maklum. Saat mata kami bertemu, kami kompak terkekeh. Zenia ini, ada saja tingkahnya. Sayap apa yang dia maksud? Tidak ada sayap apapun. Di punggungnya hanya ada ransel biru dengan corak polkadot yang bahkan berukuran tidak lebih besar dari tubuhnya.

Cakra sempat tersenyum jahil sebelum mendorong pelan tubuh Zenia sampai perempuan itu berpindah dari tempatnya semula. Aku hanya tertawa lalu mengikuti Cakra yang sudah melangkah masuk, berjalan ke arah teman-teman kami yang duduk di belakang sayap kanan, seperti biasa.

“Cakra, sayap gue patah!!!” Zenia bersungut dan mengambil tempat duduk di samping Rafiq. Menanggapi itu, teman-temanku hanya tertawa.

Lihat selengkapnya