“B–Bukan gitu,” sahut Akane cepat, merasa sangat bersalah telah menyinggung Makoto dan membuatnya sedih.
“Aku bisa membantumu, kok. Tapi aku nggak tau harus ngapain,” imbuhnya tanpa memerlukan pertimbangan apapun lagi. Kalau memang hanya dirinya yang bisa menolong Makoto, ia akan berusaha melakukannya sepenuh hati.
Mata almond beriris hitam milik Makoto berbinar-binar. Ia melompat dari kursi ke kasur dan mencondongkan tubuhnya pada Akane. Dipandangnya mata sayu gadis itu serta pipi tembamnya yang mulai bersemu merah jambu.
“Beneran, ya? Kamu bantu aku sampai semuanya terwujud, ya?” tanya Makoto berulang-ulang.
Akane memalingkan wajahnya karena malu berada dalam posisi sedekat itu dengan Makoto. Meskipun berupa arwah, sosok pemuda itu masih nyata dan padat sehingga seolah-olah mereka bisa bersentuhan.
“Iya beneran,” jawab Akane.
Makoto menjauhkan tubuhnya dan tertawa senang. “Makasih, Akane-chan!”
“Eh?” Akane kaget. Belum pernah ada teman yang memanggil dengan nama kecilnya kecuali dalam lingkungan keluarga.
“Kamu keberatan kalo aku panggil begitu? Aku pikir mulai sekarang kita 'kan jadi lebih dekat, jadi aku ingin memanggilmu begitu. Lagi pula namamu itu bagus kok!” sahut Makoto, ia memiringkan kepala.
“Ya, terserah kamu aja,” gumam Akane. Pipinya terasa panas sekarang. Bisa-bisanya ia tersipu karena pujian dari hantu.
“Oh iya!” Makoto tiba-tiba berteriak dan meloncat dari kasur. “Aku lupa bilang kalo kita cuma punya 45 hari untuk mewujudkan keinginanku! Itu berarti cuma sekitar sebulan lebih sedikit, 'kan?”
“Itu sebentar banget!” kata Akane, “tapi emang apa yang kamu inginkan?”
Makoto menekuk lengan di depan dada, matanya memutar seolah sedang berpikir. “Aku nggak tahu apa aja. Menurut ingatan, aku pernah punya satu buku rahasia yang berisi keinginan-keinginan itu. Mungkin kita bisa mencarinya.”
“Semacam buku diary?” tanya Akane, terkikik geli saat pemikiran betapa kekanakannya Makoto itu.
Makoto mencibir. “Bukan buku diary kayak punya cewek-cewek juga. Cuma buku catatan biasa yang isinya aku tulis ketika iseng atau sedang senggang. Begini-begini aku cukup sibuk tahu.”
“Sibuk berkencan dengan pacarmu dan cewek lainnya?” Akane mencoba bercanda.
Makoto memberengut. “Kamu pikir aku cowok seperti itu, ya?”
“Maaf,” sesal Akane, menunduk malu. Sungguh ia tidak bisa terus-terusan berada di dekat Makoto karena merasa tidak pantas. Apa pun yang ia katakan hanya menyakiti pemuda itu.
“Dasar.” Makoto berdecak. “Kebiasaan minta maaf terlalu banyak itu nggak bagus lho, Akane-chan.”
“Maaf,” kata Akane.
“Tuh, kamu melakukannya lagi.” Makoto kembali duduk di kursi dan memandangi gadis bermata bulan sabit itu.
Akane mengangkat kepala. “Bukannya kalo berbuat salah harus minta maaf?”
“Iya, sih, tapi kamu terlalu sering minta maaf. Orang-orang bakal menganggap dirimu rendah, loh,” tegur Makoto.