“Ah, kita udah ngabisin satu hari pertama cuma buat cari buku itu,” keluh Makoto yang berjalan santai di sepanjang jalan Higashiguchi menuju sekolah. Ucapan itu sudah Akane dengar sepuluh kali selama sesiang ini.
“Padahal kamu sendiri yang kelamaan nyembunyiin.”
Akane membatin, melempar pandangan miris pada arwah gentayangan itu. Meskipun begitu, penampilan Makoto tidak berubah. Persis ketika masih hidup. Mata almond itu masih tetap terlihat berkilauan dan senyuman di bibirnya tetap secerah matahari.
Hanya memikirkan itu saja membuat rona merah muncul di pipi Akane. Ia menggeleng, berusaha mengusir pemikiran itu.
“Akane-chan, kamu sakit? Kenapa wajahmu merah?” tanya Makoto cemas, berdiri di depan Akane dan mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga langkah Akane pun terhenti.
“Nggak kok!” pekik Akane, tanpa sadar menaikkan nada suaranya seperti setengah berteriak. Pengendara mobil bak yang lewat menoleh padanya dan memandang heran. Warna pipi gadis itu semakin memerah karena malu.
“Hei, hei, kok segitunya sih?” kata Makoto, terkikik geli.
Akane memberengut. “Jangan ajak aku bicara pas di luar rumah. Nanti aku malah kelihatan kayak orang aneh!”
“Iya, iya.”
Makoto berjalan santai dengan tangan tertaut di belakang tengkuk. Keduanya menyusuri jembatan yang melintang di atas sungai Suyoshi. Di seberang, terlihat gedung sekolah empat lantai dari SMA Nagaoka terlihat.
Tak jauh dari pintu masuk ke area halaman sekolah, terdapat halte dan bis yang sedang berhenti. Menurunkan remaja putra-putri berseragam almamater warna biru tua, kemeja putih, dasi dan rok kotak-kotak. Menuju musim dingin, beberapa siswa tampak sudah mengenakan seragam musim dingin mereka yaitu sweater rajut warna krem yang dikenakan di atas kemeja dan di bawah almamater.
Akane berhenti sebentar dan memandang ke arah bis. Di sana, seorang gadis berambut pendek sebatas telinga dan mengenakan celana panjang di bawah roknya turun dengan melompat. Ketika melihat Akane, gadis itu langsung berlari-lari kecil. Ransel biru di punggungnya bergoyang-goyang.
“Selamat pagi, Akane-chan!” sapa Takahashi Kurumi, satu-satunya gadis di kelas yang mau mengobrol dengan Akane.
“Selamat pagi, Kurumi-chan,” jawab Akane, menatap sahabatnya lamat-lamat dan baru menyadari ada plester di hidung gadis itu.
“Kamu kenapa lagi?” tanya Akane seraya berjalan masuk ke area sekolah. Kurumi terkekeh, mengusap-usap plester di tulang hidungnya yang mancung.
“Kemarin aku menghajar beberapa bocah tengil yang mengganggu adikku,” katanya enteng seakan tak merasa bersalah sekali pun. Untung saja Akane sudah terbiasa dengan semua sikap ajaib sahabatnya itu.
Mereka naik ke lantai dua di gedung A. Akane baru menyadari Makoto menghilang dari sisinya tidak tahu kemana. Ia celingukan ketika naik tangga.
“Kenapa?” tanya Kurumi, lalu dijawab dengan gelengan dari Akane. Gadis itu memilih mengabaikan Makoto dan terus berjalan menuju kelas.