Aku duduk menatapi jalanan. Angin Barat sudah memasuki musimnya. Kemarau terkesiap berlayar ke laut Cina Selatan. Tergopoh-gopoh, tertatih disapu badai menuju benua Australia. Digiring perlahan dan beristirahat sejenak pada langit yang berada tepat di atas kepala. Gerimis diaduk hawa penghujan. Berangin dan...beriak awan.
Kurogoh tasku, mengambil sebuah pulpen dan secarik kertas. Sepintas bayangan melintas di pikiranku.
Apa yang mau kutulis tadi?
Aku terdiam sejenak. Menengadah ke langit.
"Pernah main ini?" Sodor wanita itu.
Rubik Cube 6 sisi.
Ah iya, aku lupa kalau sedang ada dia di sampingku. Rubik? Ini barang hiburan semasa SMA. Mengingatkan dengan sesuatu saja.
Kapan aku terakhir kali bermain ini? Kapan? Cukup lama sampai-sampai aku sudah lupa. Kuterima rubrik itu tenang. Menggenggamnya dengan kedua tangan. Sedangkan wanita itu memerhatikan duduk tepat di sampingku. Mata bola hitamnya berpendar dijatuhi cahaya mentari sore kala itu. Nakal sekaligus culas.
"Apa?" Tanyaku memancing.
"Kau persis orang autis. Hanya tenggelam dengan duniamu."
Aku tersenyum kecil. Ya, kau orang ke-12 yang bilang demikian.
"Oh ya?" Balasku singkat sambil kuputar-putar rubik mencoba menemukan polanya.
Kadang aku berpikir, apa benar demikian? Aku hanya mencoba untuk fokus dengan apa yang kukerjakan. Lagi pula corpus callosum punyaku 30% lebih tipis ketimbang milik kaumnya. Berbeda dengan para wanita yang multi tasking dan serba bisa mengontrol kelima indra -tidak termasuk hati tentunya- kami pria cenderung terpusat pada satu pekerjaan. Sebabnya yang banyak mati tertimpa musibah kebanyakan adalah pria. Karena sensitifitas indra pria kerap mati rasa bila sedang dilanda fokus berat. Yah, tentu satu kalimat sebelumnya tadi hanyalah penilaian subjektif.
"5 menit duduk di sini. Dan kau cuma diam."
Memangnya dia berharap aku melakukan apa? Lagi pula aku bukan diam. Aku mengamati...melamun tepatnya.
Sekali lagi ia membetulkan posisi duduknya, sambil bersandar lalu merapatkan kedua lutut. Ah...gesture itu. Ingin kutanya kah? Sementara orang lalu lalang di hadapan kami. Tidak acuh, beraktifitas seperti sediakala.
"Bagaimana kabar bahagiamu?" Tanyaku sedikit berbisik.
Raut wajahnya berubah. Tampak ia heran dengan pertanyaanku. Kunaikkan kedua alis mengisyaratkan, kenapa? Adakah yang salah?
Ia mendengus, sekali lagi menghembuskan napas berat. Sedetik setelahnya aku langsung tahu dua adegan yang akan terjadi selanjutnya. Ia pasti akan bercerita panjang lebar dikali tinggi tentang masalahnya.
"Aku capek kerja." Kalimat pembuka meluncur dari dua bilah bibirnya yang merah merekah.
Sial, aku salah memilih pertanyaan. Bakal panjang dah.
Secara sederhana dalam persekian detik saraf motorikku mengantarkan sebuah petuah pesan untuk memberi solusi. Seperti alur berpikir pria pada umumnya, jump to conclusion. Namun, setelah melewati beberapa masa dan pengalaman yang timpang tindih, aku tiba pada kesimpulan kalau logika pria tidak berlaku pada wanita. Nihil, unable, useless, nonsense.
Momen saat ini adalah di mana ia cuma ingin bercerita, meluapkan emosinya, menjadikanku sebagai samsak keluh kesahnya. Aku sadar yang dimauinya sekarang bukan solusi. Melainkan telinga yang sudi mendengarnya bercerita dan kepala yang siap mengangguk kapan saja, membenarkan dan mendukung segala tindakannya. Tidak peduli meskipun itu salah. Tabiat umum yang dipunyai kebanyakan wanita. Yah, anggap saja sepertinya nasibku kurang beruntung hari ini.
Ini sekedar saran, sepatutnya mulai sejak dini pria harusnya diajarkan mengangguk dengan takzim saat mendengar wanita sedang bercerita. Agar kelak di kemudian hari ia tidak mengalami kesulitan hidup jika berhadapan dengan pasangannya. Percayalah, nasehat ini benar-benar berharga suatu hari kelak.
Berkisahlah wanita itu tentang segala problema hidup dan polemik hatinya. Dan aku membalasnya dengan empat pilihan kalimat; Oh ya? Terus? Sabar ya, dan Woww!
Kuputar kombinasi rubik sembari mendengarkan senandung dirinya. Lelah, atasan, tanggungjawab, pingin liburan, jalan-jalan, shopping, mau nikah aja, Taeh Young, BTS, skin care, Dragon Ball dan...entahlah, terlalu sulit aku menangkap semuanya. Sebab ia bercerita terlalu lepas. Menyebar bagai ledakan atom. Tak berlajur, tak berarah.