Aku mencoba menghindar sebisa mungkin untuk tidak mengkisahkan ceritaku kembali. Tapi selalu gagal. Yah lagi pula memang aku lah yang sudah menjanjikannya, pada akhirnya akulah yang bersalah karena lidah ini dengan mudahnya mengumbar sesuatu yang awalnya tidak ingin kutepati.
Tapi...yah membagi sedikit kisah tak ada salahnya. Kisah-kisah yang pun kalau ditakar-takar tak ada manfaatnya sama sekali. Tak banyak faedah barang kali. Terangkai dari pecahan yang tersemat pada fragmen-fragmen lobus temporalku dan yang lainnya justru tersesat di lintasan imajiku.
Dari sebuah ekologi semesta di sekolah Universe Pertama bersinergi. Sebuah Universe di mana pemikiranku memiliki bayangannya sendiri, detaknya sendiri, langkahnya sendiri. Persinggahan bagi mereka yang tersesat di fase ruang kosong, di mana adhesi bukan hanya berupa hukum fisika, tapi juga sebuah tabiat rasa. Titik ketika buku bertumpuk dan dia duduk manis bersebelahan. Masa saat kita masih menjadi sekawanan kenari yang tertawa-tawa mencari jati diri.
Semuanya bermula dari tingkat SMA. Ketika wajahnya sering dipajang di depan kornea mataku. Bagiku dia hanya orang asing. Sekedar teman dari temanku. Tapi siapa sangka efek konsumsi mata yang terus-menerus menatapnya mampu melubangi hatiku yang cadas atau bahkan tak punya hati sama sekali. Diam-diam rasa penasaran meringsek masuk ke sela-sela gorong-gorong hatiku. Perlahan-lahan, mengendap-endap, dan suatu ketika tibalah saat ketertarikanku membuncak, tumpah ruah meluncur keluar dengan derasnya. Kenyamanan pertama yang kurasakan kembali sejak sepeninggal ibu.
Semenjak kehilangan ibu dunia jadi semacam ruang hampa udara. Aku sulit bernapas dan bergerak maju. Semuanya berubah monoton dan tak berwarna. Kelabu persis tayangan televisi zaman Nippon dulu. Seumpama lukisan mahal monalisa yang kehilangan ekspresinya. Tak berestestika dan tak menarik sama sekali.