Sekiranya seluruh penduduk bumi disurvei dan ditanyai apakah ia ingin gagal? Jelas dari ujung kutub selatan sampai menembus wilayah suku eskimo di antartika utara, jawabannya pasti tak ada. Aku pun demikian, berharap semuanya berjalan lancar tanpa hambatan. Sukses tanpa perlu ada rintangan.
Namun takdir berkata lain, aku ditolak pada ujian masuk salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri. Tak heran, selain jumlah pendaftarnya banyak, tidak sedikit pula para kompetitor yang lulusan dari Sekolah Menengah Pertama ternama. Tepat di papan pengumuman, nilaiku digagahi hasil tes mereka. Dilihat dari selisihnya saja sudah bisa dipastikan aku takkan lolos meski dengan menyogok. Jarak nilaiku terpaut amat jauh. Bagai sabang dengan timor leste.
Meski demikian, Ayah tak putus asa dengan nilai ijazahku yang ala kadarnya. Ia daftarkan aku ke SMA Negeri yang lain. Celakanya, SMA Negeri itu lebih kompetitif dan memiliki kualifikasi yang lebih ketat dibandingkan SMA Negeri yang sebelumnya. Jadi tak usah ditebak lagi, baru sampai diambang pintu saja nilaiku sudah ditolak mentah-mentah karena nilai UAN-ku memang terlalu mengiris hati.
Gara-garanya aku kena ceramah tujuh belas menit sama ayah. Sampai kupingku berdengung tak keruan. Menyesal pula aku jadinya mengapa tak curang dulu ketika ujian akhir.