6 Pintu Rumah

Lilyandra
Chapter #1

Kabur

Pintu rumah terbuka, tampaklah sosok gadis muda dengan rambut yang setengah terikat, berjalan keluar menggunkan baju lengan panjang dan celana panjang polos. Ia menyeret kopernya keluar dari pintu, sebelum ia menutup kembali, ia menatap ruangan dalam rumah, gelap, sunyi dan dingin. Gadis itu menghela nafas dengan kasar dan menggelengkan kepalanya, ia menutup dengan perlahan dan menguncinya kembali, kunci cadangan yang ia pegang ia letakkan di bawah pot bunga mawar.

Hari yang masih gelap, hawa dingin yang mampu menusuk tulang, suara hewan kecil di malam hari masih terdengar. Hening tak ada orang yang berlalu lalang ataupun bercengkrama di tengah malam. Sesampainya di gerbang rumah, ia berbalik, ia masih berharap, ia melihat lagi rumah yang indah dan humoris, sayang semua itu hanya sementara. Dulu ia dibawa masuk dengan kehadirannya yang menjadi sumber kebahagiaan lalu datanglah yang lebih berharga. Di matanya lumpur tetap lumpur, berlian tetap berlian, tak akan pernah lumpur berubah menjadi berlian. Gadis itu berjalan menyusuri jalanan yang sepi, hanya ditemani lampu jalan. Ia melihat lampu yang menerangi jalanan, cahayanya yang terang .

“Altera Vione, kau sudah berusaha sejauh ini, dan sekarang benar sudah waktunya untuk pergi menjauh, kalau bisa pergi jauh dan tak kembali lagi.” Helaan nafas kasar terdengar lagi darinya.

Ia kembali menyusuri jalanan yang sepi dengan hati yang masih sakit dan lelah, angin malam menjadi teman perjalanannya. Altera sudah melewati 3 rumah, di rumah keempat ada laki laki yang sudah berdiri dengan setengah tubuhnya bersandar pada dinding. Laki laki itu menoleh dan melihat Altera, ia tersenyum. Altera mendekatinya.

“Sudah siap?” laki-laki itu masih di posisi yang sama.

“Ya, aku sudah siap, ayo jangan tunda lagi, kita pergi sekarang!” Altera berjalan mendahului laki laki yang tadi menunggunya.

Laki-laki itu melihat arah yang tadi Altera lewati, “Apa tidak ada yang ingin kau sampaikan kepada keluargamu atau siapapun sebelum kau pergi?” Ia memastikan sekali lagi.

Langkah Altera pun berhenti, “Apa yang kau harapkan Hans, tidak ada yang peduli padaku, jangan banyak bertanya lagi, lanjutkan saja apa yang ada di depan, karena aku tidak bisa membalikkan arah tujuanku ke tempat yang tak menerimaku.” Kakinya kembali melangkah.

Hans mengangkat kedua bahunya secara singkat, yang berarti “ya sudah.”

“Baiklah kalau itu kemauanmu, kita pergi sekarang, ikuti aku, kita akan berjalan kaki sampai di ujung jalan sana, nanti ada yang jemput.” Tangannya menunjuk ujung jalan yang sepi.

Altera melanjutkan perjalanannya. Mereka berjalan dengan keheningan, dan hanya suara langkah serta roda koper. Ujung jalan sudah di depan mata, tapi nafas Altera terengah-engah, mungkinkah karena ia lelah karena menarik barangnya dan belum ada makan seharian?.

“Ayo Altera, sedikit lagi, kau pasti bisa!” Altera menarik kembali kopernya, Hans tiba tiba berhenti dan berbalik arah, penerangan seadanya membuat Altera tak dapat melihat Hans dengan jelas. Altera semakin merasakan pusing, telinganya berdenging.

“Altera, kau sudah pergi dari tempat yang….” hanya sebagian kata yang Altera dengar

‘Apa yang dia katakan, kenapa semuanya aneh, ada apa denganku?’

“Kini waktunya, kau.. aku kembalikan ke tempat yang seharusnya….”

‘Kau mau bawa aku kemana? Setidaknya tolong aku Hans!’Matanya menyorot tajam

Altera memegang kedua lutut untuk menopang tubuhnya dia menjatuhkan kopernya, wajahnya lesu dan sangat pucat. Altera berusaha meraih tangan Hans tapi ia tak sampai dan terjatuh.

‘Bantu aku sialan!’ Pandangan Altera hampir hilang, telinganya tetap sama, tetap berdenging dengan kuat.

“Altera, kau harus lebih merasakan…. dan aku harap saat itu aku menyaksikan kau……”

Kesadaran Altera benar benar hilang, ia terjebak dalam kegelapan, Altera berusaha membuka matanya, tapi yang ia lihat hanya kegelapan yang tak berujung,

“Gelap, kenapa disini gelap? Aku takut gelap, tolong siapapun, aku hanya ingin pergi dan mencari kedamaian, bukan ini yang aku inginkan!” Altera memukul udara, mencari sebuah pintu, atau sesuatu yang membawanya keluar. Sudah berusaha tapi sama saja, tak ada sesuatu yang bisa membantunya.

Tak ada yang mampu mendengar suaranya, Altera hanya dapat memeluk tubuhnya dengan penuh keyakinan bahwa ia tak kehilangan tubuhnya. Keheningan yang melanda, tiba tiba datang suara yang samar-samar.

“Ra? Sayang?”

“Hah?” Altera membuka matanya dan melihat sekeilingnya, mencari asal suara.

“Ini mami ada buatkan kue untuk kamu, Ra”

“Mami? Tidak-tidak ini pasti hanya mimpi” Altera semakin frustasi.

“Al, dia Ayuna, dia anak yang baik, mami harap kalian akrab ya.”

“Tidak mi, dia bukan anak sebaik itu, mami salah.”

Suara yang menggema tadi seperti kaca yang pecah, Altera merasa seperti dihantam oleh batu yang besar.

Lihat selengkapnya