Hari ke 7
"Kyra, kamu mau pergi ke luar?"
"Memang boleh, Kak?"
"Tentu"
"Kalau begitu ayo, aku ingin pergi ke taman bermain, menonton film seru, makan makanan pinggir jalan, lalu apa lagi ya?" Kyra merubah duduknya dari setengah berbaring ke duduk tegak bersila.
"Aku tidak akan mengajakmu pergi ke semua tempat itu"
"Lalu, kau mau membawaku ke mana?"
"Ke taman"
"Bolehlah, daripada terus mendekam di dalam kamar, ayo" Ujar Kyra penuh semangat, sambil turun dari ranjangnya, lalu berjalan mendahului Linggar.
Taman yang dimaksud Linggar adalah taman yang ada di rumah sakit tersebut. Tidak terlalu luas namun cukup asri dan nyaman. Menenangkan.
"Aku pikir Kak Linggar mau mengajakku ke taman kota, lalu membelikanku es krim" Protes Kyra, tak lupa ia mengerucutkan bibirnya.
"Kau masih pasien rumah sakit ini, Kyra. Aku bisa dimarahi dokter Hilal jika membawamu keluar dari rumah sakit"
Kyra mendengus kesal, melempar pandangannya lurus ke depan. Kyra bersyukur setidaknya ia melihat matahari bersinar cerah hari ini.
"Tidak terlalu buruk" Celetuk Kyra, ia melangkah ke arah kursi panjang di salah satu sudut taman.
Kyra mendudukan dirinya di kursi tersebut, disusul Linggar yang ikut duduk di sampingnya.
"Aku akan meminta ijin pada dokter Hilal pergi keluar sebentar saat aku off day"
"Benarkah?" Kyra kembali bersemangat, dibalas anggukan oleh Linggar.
Seulas senyum terbit di wajah cantik Kyra.
Keduanya terdiam. Kyra yang menikmati hamparan rumput hijau dan berbagai tanaman di sana.
Sementara Linggar, sibuk sendiri dengan pikirannya sesekali ekor matanya melirik gadis yang hari ini wajahnya telihat lebih cantik. Kedua pipinya memerah karena sengatan sinar matahari, sangat kontras dengan kulit putih Kyra.
"Ada yang ingin Kak Linggar katakan?" Tanya Kyra tanpa mengalihkan pandangannya.
"Heuh? Apa?"
"Atau Kak Linggar tidak ingin menanyakan sesuatu?"
"Apa yang harus aku tanyakan? Aku tahu nama lengkapmu, aku tahu umurmu, gendermu, alamat rumahmu"
"Tidak mungkin Kak Linggar tidak tahu itu semua. Semua sudah ada dalam biodata pasien"
"Nah itu tahu"
"Maksudku, Kak Linggar tidak ingin tahu tentang keluargaku?"
"Eh" Linggar menatap lurus ke depan. "Bukan kapasitasku untuk selalu ingin tahu kehidupan seseorang"
"Tidak seperti kebanyakan orang yang selalu ingin tahu"
"Kalau kamu ingin bercerita, kamu bisa bercerita pada orang yang memang sangat kamu percaya"
"Aku tidak punya siapa-siapa"
"Ada aku"
Kyra tertunduk dan tersenyum. "Bukankah seharusnya salah satu dari keluargaku yang mengatakan itu?" Kyra menoleh menatap Linggar.
"Aku bisa jadi keluargamu" Ujar Linggar bersemangat. Sementara Kyra hanya menaikkan sebelah alisnya.
"Ah, m-maksudku, kalau kamu ingin bercerita, ceritalah. Jika memang kamu percaya padaku. Aku janji aku tidak akan bercerita pada siapapun. Aku janji!"
"Aku tidak tahu bagaimana anggapan orang lain terhadapku. Tapi aku tahu beberapa orang membicarakanku di belakang. Tapi aku tidak peduli. Karena aku tahu jika aku memikirkan perkataan mereka itu hanya akan merugikanku"
"Kyra, apa sakitmu karena orang tuamu mengidap sakit serupa?"
"Ya, ayahku mengidap penyakit yang sama. Beberapa bulan lalu baru saja meninggal dan hari itu awal dari semua keterpurukanku. Sejak lahir aku sudah tidak punya ibu, ibu meninggal setelah melahirkanku. Hanya ayah yang membesarkanku dan merawatku seorang diri."
"Jangan bicara soal keterpurukan Kyra, kamu masih bisa bangkit"
"Ayah, orang yang paling aku sayangi dan hormati pergi meninggalkanku. Ayah mungkin tengah mengajakku pergi bersenang-senang sekarang, jika saja saat itu ayah berhasil melakukan transplantasi jantung. Tapi dua puluh empat jam sebelum operasi, tiba-tiba wali pendonor tidak memberikan ijinnya. Dan ayahku tidak tertolong lagi"
"Jika mengingat saat itu, rasanya aku ingin segera menyusul ayah dan ibu saja. Tapi aku takut merasakan sakit" Kyra terkekeh.
"Lalu, bibimu? Beliau tidak pernah lagi datang ke rumah sakit untuk menjengukmu."